PENGERTIAN “UMMI”

Murtadha Mutahhari (ulama syi’ah)

Para mufassir Islam menafsirkan Ummi dalam tiga tafsiran:
1. Tidak belajar dan tidak kenal baca-tulis,
Kebanyakan mufassir menguatkan pendapat ini atau malah Mufassir yang membela pendapatnya berkata bahwa ummi dinisbatkan pada al~ummu. Jadi ummi adalah seseorang yang tak mengetahui suatu tulisan dan pengetahuan seperti kelika ia dilahirkan oleh ibunya, atau ummi dinisbatkan pada al-ummatu. Dengan begitu ummi adalah awam, yakni tak dapat membaca dan menulis. Ketika itu, orang yang dapat membaca dan menulis sedikit sekali. Dan juga dikatakan bahwa nisbat ai-a’mi ialah yang serupa dengan kebanyakan orang (17. AI-Mulfaclat di akhir kala “ummi”, dan Majma’ al-Bayan Qi akhir ayat 7B. al-Baqarah)
Sebagian mufassir rnengatakan bahwa salah satu arti ummat adalah moral, maka al-ummi adalah orang yang tetap pada moral dan kondisi semula, yaitu tak kenal baca-tulis dan tak pernah belajar. Mereka yang menjelas-kan pengertian ini menisbatkan pada sebuah bait penyair terKenal.
Dalam interpretasi pertama ini.baik menis batkan pada ummu atau ummatu, sama saja, yakni orang yang tak dapat mernbaca dan menulis.
2. Penduduk Ummul Oura (pusat perkampungan).
Mufassirn yang menguatkan interpretasi ini menisbatkan ummi pada Ummul Oura, yaitu Makkah, sebagaimana disebutkan dalam suratal-An’am: 92, “Agar kamu member! peringatan kepada penduduk Ummu! Qura dan orang-orang sekitarnya.” Kitab-kitab lama menerangkan kandungan arti itu, dan sebagian hadis Syi’ah menguatkannya, walaupun itu tak relevan, sebagaimana dikatakan bahwa ummi berasal dari bahasa Israil.
Penafsiran inl lemah dengan alasan sebagai berikut:
A. Kata Ummui Qura tak khusus menunjukkan kota Makkah. Walaupun Makkah sebagai pusat perkampungan sekitarnya, tetapi ummul Qura di maksudkan pusat perkampungan umumnya. Tiap pusat perkampungan dinamakan “Ummul Qura”. Dalam pengertian lain, kata tersebut tak digunakan untuk memberi sifat dan nama. Ini disebutkan dalam AI-Qur’an, “Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibu kota itu seorang rasul” (Surah al-Qashash: 59).
Dari ayat tersebut diketahui bahwa setiap pusat atau tempat berkumpul dinamakan Ummul Qura dalam bahasa AI-Qur’an. Jika demikian, maka arti itu tak untuk menyifati.
B. Kata itu di dalam Al-Our’an bermakna umum, bukan penduduk Makkah, sebagaimana disebutkan dalam surat All Imran: 20, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, apakah kamu mau masuk Islam”. Dari ayat itu diketahui bahwa kata itu, waktu itu dan di masa AI-Qur’an, mempunyai arti umum untuk orang Arab yang bukan pengikut kitab samawi. Sebagai tambahan, ummi mempunyai pengertian umum untuk orang Yahudi awam yang tak tahu apa-apa, walaupun mereka ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah: 78, “Dan sebagian mereka itu ada yang buta huruf, tak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka.” Yang jelas orang-orang Yahudi yang disebut Ummiyin dalam AI-Qur’an bukan penduduk Makkah, melainkan umumnya mereka yang tinggal di Madinah dan sekitarnya.
^ Oleh karena itu, ummmi mengacu pada musyrikin Arab, jika kata itu berbentuk jamak.”Sekiranya kata itu berbentuk tunggal, dan menunjukkan Nabi, maka tak ada seorang mutassir pun yang akan mengatakan bahwa Nabi tak mengikuti salah satu kitab samawi, melainkan mereka akan menafsirkan antara dua pengertian berikut: Nabi tak belajar membaca atau Nabi berasal dari penduduk Makkah. Jika yang terakhir ini tidak lah tepat, maka “ummi”yang menunjukkan Nabi, tak lain karena beliau tak pernah belajar dan tak dapat membaca dan menulis.
C. Kaidah sastra akan mengatakan Qurawiyun bukan Ummiyun. Seandainya kata itu musytaq (asal kata) dari Ummul Qura menurut kaidah ilmu sharaf dalam menentukan nisbat mudhaf dan mudhafilaih, khususnya ketika, mudhafnya: al-abu, al-ummu atau al-bintu, nisbatnya ini kepada mudhaf ilaih, bukan pada mudhaf. Dengan demikian, dalam menisbatkan Abu Thalib, kifa mengatakan Thalibiy-, Abu Hanifah, Hanifiy, Banu Tamim, Tamimiy.
3. Musyrikin Arab yang bukan pengikut kitab samawi.
Ini pendapat para sahabat Nabi dan mufassir terdahulu, dalam kitab Majm’ al-Bayan ketika menerangkan kata itu di akhir ayat 20, Surah AN Imran, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan orang-orang Ummi.” Pendapat ini dinisbatkan pada pendapat seorang mufassir, ‘Abdullah bin ‘Abbas, sebagaimana pendapat ini dinisbatkan pada Abu ‘Ubaidah di dalam akhir ayat 78, Surah al-Baqarah. Ath-Thabrasi, penyusun kitab Majma’ al-Bayan cenderung pada pendapat ini, sebagaimana yang kita lihat dalam akhir ayat 75, Surah ‘Ali Imran. Demikian pula pendapal al-Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kassyaf, ketika membahas Surah ‘Ali Irnran, ayat 75. Juga ar-Razi, dalam tafsirnya yang menukil kandungan arti ayat 78, Surah al-Baqarah, dan ayat 120, Surah Ali Imran.
Kenyataannya: Pengertian ini tak mendukung penafsiran butir ketiga, yaitu, tak setiap orang yang tak menganut kitab samawi dikarenakan al-ummiyin, jika mereka berpengetahuan dan berilrmu. Tetapi kata itu menunjukkan musyrikin Arab karena kejahilan mereka. Jadi, di sini penggunaan kata itu menekankan ketak-biasaan membaca dan menulis, bukan pada ketak-ikutan mereka pada salah satu Kitab Samawi.
Ada lagi arti keempat dalam memahami kata itu, yakni yang digunakan untuk menyatakan; tak mengenal isi kitab suci. Pengertian ini dirumuskan Dr. Sayyid Abdul Latif, dan ia mencampuradukan ini dengan pengertian butir ketiga yang telah kami sebutkan, dan kami katakan bahwa pengertian ini telah dikenal di kalangan mufassir terdahulu. la berkata, “Kata ummi dan ummiyun yang terdapat di berbagai ayat AI-Qur’an, dalam kondisi apa pun, selalu ditafsirkan satu arti. Jadi, ummi dalam bahasa asli berarti anak yang baru lahir, dan ini menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang tak mengenal baca dan tulis. Ummi juga berarti orang yang hidup atau tinggal di pusat perkampungan, pusat kota atau jantung kota. Kata ini disifatkan pada orang Arab Makkah zaman nabi. Dengan demikian, anggota penduduk Makkah dikatakan ummi.
Terakhir, penggunaan ummi untuk orang~yang tak mengenal isi kitab terdahulu, dan bukan pengikut agama Yahudi dan Nasrani yang disebutkan dalam AI-Qur’an dengan nama Ahti Kitab. Dan ummiyin dinyatakan dalam AI-Qur’an sebagai orang Arab sebelum Islam, yang karena tak mengenal kitab suci dan bukan kelompok pengikut Taurat dan Injil, bukan Ahli Kitab.
Muthahari melanjudkan: Jika ummi mempunyai arti yang bermacam-macam, maka kami tak mengerti rahasia apa yang mendorong para mufassir dan penerjemah AI-Qur’an — muslim atau nonmuslim — berpegang teguh pada arti dasar, yaitu anak baru lahir yang tak tahu apa-apa untuk menggambarkan orang yang tak kenal baca dan tulis. Dan kemudian mereka menyatakan kata ummiyin adalah penduduk Makkah sebelum Islam atau lapisan yang bodoh? (Selebaran Kanun-s Mard-e Fitran”, 1964).
Kritik terhadap pendapat ini.
1.Kita lihat para Mufassir terdahulu menginterpretasika ummi dan ummiyun dalam tiga tafsiran atau tiga kandungan arti, sedangkan mereka tak berpegang teguh — bertentangan dengan tujuannya — dengan satu makna.
2.Tak seorangpun mengatakan bahwa ummi berarti anak kecil yang tak tahu apa-apa, yang menunjukkan maksud dia tak dapat membaca dan menulis. Justru kata ini, tak hanya menyatakan bukan anak kecil, melainkan orang dewasa, karena ia juga dilahirkan oleh ibunya. Dari sudut ini, kata tersebut mencakup semua manusia dilihat dari segi kemampuan dan tak, sebagaimana istilah yang digunakan oleh ulama mantik. Jadi, tak disebut ummi kecuali seseorang dilihat dari segi belajar dan tak belajar; karena itu, dalam logika kaurn Muslimin, kita jumpai sebagai contoh al-mulkah, yakni mernpunyai kemampuan, pandai; dan al-adamu’ tak mempunyai kemampuan, bodoh dalam kitab-kitab ilmu mantik.
3- Pernyataan ‘pengertian terakhir “ummi” adalah seseorang yang tak mengenal ajaran terdahulu’, tak benar, karena menurut ulama ahli tafsir dan ahli bahasa, jika kata itu dijamakkan akan menyatakan: orang-orang musyrik Arab yang bukan ahii Kitab, karena pada umumnya mereka tak dapat membaca dan menulis; dan jelaslah ini berkonotasi penghinaan kepada mereka di hadapan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Kita tak dapat mengartikan yang dinamakan al-Ummiyin itu adalah mereka yang tak rnengerti bahasa kitab tertentu, sedangkan mereka dapat membaca dan menulis dengan bahasanya sendiri, misalnya. Akar dan asal kata ummi dalam keadaanapapun, rnenurutintarpre-tasi ini, adalah “ummun” atau “ummatun”, keduanya bermakna keadaan awal manusia dilahirkan.
Adapun ummi tak dapat diinterpretasikan Ummul Qura karena, dalam rnenyebut pengertian itu, banyak menunjukkan keraguan, sebagaimana telah kami paparkan di depan. Dengan demikian, tak ada alasan untuk mendukung petunjuk sarjana alim dari India itu. Sesuatu yang menguatkan penggunaan kata itu, sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat dan buku-buku sejarah, malah tak menggunakannya kecuali dengan makna ‘bukan seorang terpelajar’. Biharul Anwar (jilid 16, him 119) menyebutkan suatu hadis Nabi saw; beliau bersabda: ‘Kami umat yang ummi tak pernah membaca dan menulis.’
Ibnu KhalHkan dalam buku sejarahnya, {jilid 4, di akhir kisah tentang Muhammad bin ‘Abdul Mulk yang dikenal sebagai wazir al- Mu’tashirn dan AI-Mutawakkil) menulis; “Awal dari kalimat buku itu, Ahmad bin ‘Ammar Ibnu Syadzi al-Bashriwaziral-Mu’tashim membawa sebuah buku salah seorang karyawan kepada al-Mu’tashim, kemudian wazir itu membacakan kepadanya. Dalam buku itu terdapat kata al-Kala’. Mu’tashim bertanya kepadanya: Apa itu al-Kala’? la rnenjawab: Saya tak tahu. la tak banyak tahu tentang dunia sastra. Maka Al-Mu’tashim menjawab: al-Kala’adalah Khalifah yang ummi dan wazir yang ammi (bodoh). Mu’tashim sendiri yang kurang pandai menulis, berkata: Lihatlah siapa di pintu itu? Mereka melihat Muhammad ibnu Ziyad dan mempersilakannya masuk. Lalu Mu’tashim bertanya kepadanya: Apa al-Kala’ itu? la menjawab: rumput pada umumnya. Jika basah disebut at-khata’ dan jika kering disebut al-hasysy, yang meliputi tumbuhan lain… maka, al-Mu’tashirn yang mengetahui keiebihannya, mengangkatnya sebagai wazir dan hakim serta mernberikannya kesempatan.” (19 Waiiysiul at-A’yan, cetakan 1310H.)
Dr. Sayyid Abdul Latif mengambil dalil ayat-ayat Al-Qur’an yang tak tepat untuk menerangkan bahwa Nabi dapat membaca dan menulis, antara lain ayat 1_64__Surah ^Ali Imran, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang” yang beriman ketika Allah mengutus rasul dari golorngan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al Kitab dan ai Hikmah, dan sesungguhnya sebelum _(kedatangan Nabi) itu, -mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Sehubungan dengan ini, Dr. Sayyid Abdul Latif berkata: “Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, mnaka jelas bahwa tugas Nabi adalah mengajarkan AI-Qur’an kepada pengikutnya- Dengan ini, minimal apa yang sering dituntut oleh seseorang yang menghendaki Nabi mengajarkan suatu kitab atau isi kitab lain apa saja yaitu — sebagaimana dijelaskan oleh AI-Qur’an sendiri — menggunakan pena atau membaca apa yang dituliskan oleh pena itu.”
Pengambilan argumen dalil ini aneh, seperti apa yang nampakdi bawah ini:
1. Karena yang dikehendaki Dr. Sayyid Abdul Latif, lain dari yang telah disepakati oleh Muslimin yang menyangkali kernampuan Nabi, yaitu bahwa Nabi yang mulia sebelum risaiah tak dapat menulis dan membaca. Lebih jauh lagi, alasan pengambilan dalil ini lantaran Nabi memperbaiki baca dan tulis pada periode kerasulan, sebagaimana yang diyakini Sayyid al-Murthada, asy-Sya’bi dan kelompok lain. Selanjutnya, tujuan Dr. Sayyid Abdul Latif tak konsis-ten dengan alasan ini.
2. Karena pengambilan dalil ini tidak mencakup masa kerasulan, dan penjelasan masalah bahwa pengajaran disajikan dalam dua cara: pertarna, pelajaran menulis, membaca, latihan-latihan dan sejenisnya. Di sini seorang murid memerlukan pena, kertas, alat peraga, papan tulis dan sejenisnya. Kedua, pelajaran al-hikmah, filsafat, moral, halal dan haram, yang merupakan aktivitas para nabi. Di sini tak mesli selalu memerlukan pena, kertas, pensil dan’ papan tulis. Dalam hal ini dapat kita lihat para filosof pengikut Aristoteles, al-Masyaiyin. Dinamai ai-Masyaiyin, karena sang guru mengajar sang murid di tengah perjalanannya. Memang kadang mereka mencatat apa yang diperoleh agar tak lupa. Karena itulah Rasulullah menasehati para sahabatnya agar memperkuat ingatan dan meng-ikatnya. Beliau bersabda, “Hendaknya kalian mengikat ilmu itu”. Ketika mereka bertanya tentang cara mengikat, beliau menyuruh mencatat.™
Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah SWT mengelokkan wajah hamba yang mendengarkan perkataanku, kemudian menghafalnya dan menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarnya”.21 Dalam hadis ini Rasul memohon karunia untuk para wakilnya. Tatkala kaum Muslimin bertanya, “Siapa mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang datang sesudahku mempelajari sun-nahku dan mengajarkannya kepada orang lain.”22 Rasul bersabda, “Sebagian hak anak dari orangtuanya adalah hak mendapatkan nama yang baik, mendapat pendidikan membaca dan mengawinkannya ketika baligh”.
AI-Qur’an memaparkan ini dengan jelasnya. De-mikianlah kita melihat kaum Muslimin berlomba-lomba belajar menulis dan rnembaca sebagai suatu keterampilan yang penuh berkah, taat kepada perintah-perintah AI-Qur’an dan Nabi, memelihara peninggalan-peninggalan agama, memberi hak-hak anaknya dan mengatur masalah kehidupan. Dalam sejarah Islam terdapat pengembangan tulis-menulis demikian rupa sehihgga sedikit orang yang dapat membaca dan menulis itu, mempelajari ilrnu dan mengembangkan baca dan tulis, sampai sebagian mereka dapat menguasai bermacam-macam bahasa yang dapat menyebarkan syiar dan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Buku-buku sejarah meriwayatkan kepada kita bahwa sebagian tawanan perang Badar dibebaskan karena fakir, sementara Nabi mengadakan perjanjian dengan tawanan yang kenal baca dan tulis agar mereka mengajarkan ilmunya kepada seluruh anak Madinah sebagai syarat pembebasan mereka.
Sesungguhnya Nabi mengutamakan sangsi hukum untuk menyebarkan keterampilan di kalangan Muslimin, dan agar mereka terdorong untuk mempelajari ilmu dan pengetahuan. Namun, bukan berarti Nabi sendiri ikut serta belajar membaca dan menulis.
Dr. Sayyid Abdul Latif berkata, “Sesungguhnya Allah menyebutkan al-Qalam dan al-Kitab di awal Surah AI-Qur’an. Apakah ini tak menunjukkan dalil jelas bahwa Nabi mengenal baca dan tulis dan apakah mungkin Nabi menyuruh manusia memperhatikan ilmu pengetahuan dan belajar menulis, sedang beliau sendiri mengabaikan baca dan tulis, padahal beliau perintis segala bidang?
Pengambilan dalil ini juga aneh …sebenarnya ayat-ayat ini menggambarkan bahwa Allah mengajari hamba-Nya melalui ayat-ayat tersebut agar hamba-Nya mendapat petunjuk, dan Nabi mengajarkan ayat-ayat AI-Qur’an dalam bentuk tulisan dan bacaan yang benilai tinggi untuk kehidupan manusia. Namun, ini tak menunjukkan suatu dalil bahwa Allah mengajar dengan tulisan, bacaan, pena, dan kertas, demikian juga Rasul.
Yang menjadi masalah: bagaimana Nabi memerintahkan, sedang beliau tak melakukan apa yang diperintahkan? ini sama dengan orang yang bertanya: bagaimana seorang dokter tak menggunakan untuk dirinya resep yang ia tulis untuk pasiennya? Memang, seorang dokter yang sakit, dalam keadaan terpaksa akan melakukannya, tetapi yang lebih baik bukan resep yang ditulis itu. Namun, apakah ia harus menggunakan resep yang ditulis untuk pasien-pasiennya, jika ia tak sakit seperti mereka?!
Di sini terlihat betapa jauhnya perasaan Nabi, dalam situasi yang sangat mendesak itu, memikirkan orang lain dalam ha! tulis dan baca guna melengkapl pengetahuan dan menghilangkan kekurangan mereka.
Rasul merupakan perintis segala bidang: ibadah, pe-ngorbanan, takwa, kejujuran, moral (terpuji) permusyawa-ratan, pengembalian keputusan, seluruh akhlak dan tradisi yang baik. Semua itu telah beliau miliki ketika berusaha menghilangkan kekurangannya. Tapi masalah baca dan tulis tak terrnasuk di dalamnya.
Nilai baca dan tulis adalah hal mendasar yang harus dimiliki oleh manusia untuk membantu menyampaikan dan mengetahui apa yang ada dalam pikirannya ketika meng-adakan hubungan antara sesamanya. Di sini jelas bahwa tulisan merupakan suatu lambang yang disepakati oleh manusia untuk menuangkan buah pikiran dan maksudnya. Mengenal tulisan merupakan sarana untuk tukar-menukar informasi antar bangsa dan antar generasi Dengan ini, manusia dapal memelihara informasi dari kehancuran dan kelupaan. Kemampuan manusia untuk membaca dan menulis merupakan tahap mengetahui suatu bahasa, dan semakin banyak bahasa yang dimiliki manusia, semakin banyak sarana yang dimiliki untuk mengurnpulkan informasi tenlang manusia.
Dari sini, dapal kita ketahui bahwa mengena! bahasa, baca dan tulis bukan merupakan suatu ilmu dalam arti yang sebenarnya, melainkan suatu kunci ilmu. Karenaiimu adalah penemuan manusia tentang kenyataan dan hukum-hukum yang pasti seperti ilmu-ilmu alam, logika dan matematika, sebagaimana juga manusia menemukan hubungan ber-bagai peristiwa, sebab-akibat dari hal-hal eksternal atau pun suatu pemikiran.
Pengetahuan bahasa, kaidah-kaidah dan sejenisnya bukanlah suatu ilmu, karena ia tak menunjukkan pada kita hubungan antara berbagai peristiwa. la hanyalah mata rantai dari sesuatu yang telah ditetapkan melalui suatu per-janjian resmi; yakni suatu ketetapan kesepakatan. Pengetahuan bahasa merupakan kunci suatu ilmu.
Memang mungkin terjadi dalam masalah-riasalah yang bersifat ketetapan fenomenapositif, karena adanya perkembangan dan kemajuan bahasa yang menggambarkan kesempurnaan buah pikiran manusia dan sesuai dengan hukum alami, pengetahaun seperti hukum alam ini lalu menjadi filsafat dan ilmu. Jika demikian, maka nilai baca dan tulis yang dimiliki manusia merupakan kunci ilmu-ilmu lain.
Akan tetapi, hanya begini cara orang memperoleh ilmu dan pengetahuan;yaitu dengan memiliki kunci ini untuk membuka tabir ilmu-ilmu lain dan mengambilnya dari gudangnya? Dan apakah Nabi juga mengambilnya melalui ilmu-ilmu manusia? Jika demikian, maka di mana letak kepandaian dan penemuan? Di mana sinar cahaya dan ilham itu? Dan bagaimana kita belajar secara langsung dari alam? Kenyataan menunjukkan bahwa belajar melalui tulisan dan bacaan merupakan bagian yang menopang aktivi-tas studi, karena tulisan-tulisan manusia adalah campuran kebenaran dan keraguan. Orang yang belajar mernbaca dan menulis memenuhi syarat untuk memasuki dan mener-juni aktivilas studi.
Yang dapat dicatat dari Filosof Prancis terkenal, Descartes, adalah ia menyebarkan makalah-makalah pentingnya sehingga ia terkenal di seluruh dunia dan banyak manusia mengagurni karya-karyanya yang aktual itu.
orang gunung dan suku-suku liar. Mereka masih jauh dari pandai. Karena itu, perhatikan cara mereka menuliskan mus/iafsebagaimana salah seorang sahabat menulisnya. la menggunakan tanda baca yang tidak disepakati yang menimbulkan perbedaan antara tanda baca yang digunakannya dengan yang digunakan orang banyak. Kemudian para Tabiin kelompok salaf mengganti tulisan mereka dengan tanda baca yang digunakan oleh para sahabat Rasulullah saw.” (Mukaddima Ibnu Khaldum hal 332 terbitan Darut Fikr
KETENTUAN LAIN QUR’AN
Ketetapan lain Qur’an yang dijadikan sandaran Dr. Sayyid Abdul Latif adalah dua ayat (2 dan 3) dari Surah al-Bayyinah. la berkata: “Alangkah sangat mengherankan, jika para penerjemah dan mufassir tak menengok ayat yang mensifatkan Nabi, bahwa sesungguhnyaia “Seorang Rasul Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran suci (AI-Qur’an).”(Q. 98:2). Perhatikanlah.disinf Allah tak berfirman bahwa Rasulullah membaca musbaf suci itu dengan hati, tetapi Dia menjelaskan bahwa Rasulullah membacanya di depan publik.
Untuk mengetahui alasan pengambilan dalil ini, harus diketahui dua kata yang dijadikan dalil, yaitu “yatlu dan shuhufan”.
Shahifah bermakna al-Waraqa (lembaran). Adapun as-suhuf jamak dari as-shahifah. Maka, pengertian ayat ini sehubungan dengan kalimat, “Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus”(Q. 98:3) adalah bahwa Nabi membacakan kepada manusia lembaran-lembaran suci yang di dalamnya terdapat .tulisan-tulisan yang benar. Yang dimaksud dengan as-shuhuf adalah segala sesuatu yang dipakai menuliskan ayat AI-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ketika itu Rasul membacakan AI-Qur’an al-Karim kepada manusia.
Akar kata yatlu adalah tilawah. Kami tak bermaksud menyarnakan tafsiran tilawah dengan qiraah sebagai membaca suatu lembaran, melainkan akan membahas penggunaan dua kata qira’ah dan tilawah. Menurut ahli bahasa, tak semua pengucapan disebut qira’ah atau Tilawah, kecuali jika pengucapan itu berkisar tentang membaca isi tulisan (matan), secara lisan maupun membaca dalam hati. Maka, membaca al-Qur’an dinamakan qiraah dan tilawah, baik dengan cara melihat langsung pada tulisan al-Qur’an atau dengan menghafal, Dua kata ini ada bedanya. Tilawah khusus digunakan untuk isi kitab suci (Matnul Muqaddas), sedangkan qira’ah lebih urnum. Jadi mengatakan ‘Qira’ah alkitaba al mantiqi ‘adalah benar. Dan tak benar berkata ‘Talawtu al-kitaba al-mantiqi.'”
Bagaimanapun, unsur membaca matan yang tertulis bukan satu-satunya unsur dalam pengertian qira’ah dan tilawah. Oleh karena itu, ayat tersebut tak rnengatakan bahwa Nabi membacakan Al-Qur’an yang tertera di kertas kepada manusia.
Yang jelas timbul pertanyaan: mengapa kita harus menyatakan bahwa Nabi pasti membaca Al-Qur’an dengan melihat ayat-ayat yang tertulis di depannya?
Kita tahu bahwa Nabi hafal Al-Qur’an, sebagaimana ratusan Muslimin menghafalnya. Dalam hal ini Al-Qur’an menjelaskan, Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu sehingga kamu tak akan lupa.” (Q. 87:6).
Dari sini kita tahu bahwa ayat-ayat di atas tak sedikit pun menyatakan bahwa Rasul dapat membaca dan menulis Malah, ayat-ayat itu menyatakan sebaliknya, sehingga seandainya kita harus mengatakan bahwa ayat-ayat itu menyatakan Rasul dapat membaca dan menulis, maka itu terjadi pada masa Kerasulan, sementara Dr. Sayyid Abdul Latif menggunakan dalil yang salah bahwa Rasul juga memperbaiki baca dan tulis sebelum kerasulannya.
Dr. Sayyid Abdul Latif rnungkin mendasarkan bebera-pa peristiwa sejarah yang tak tepat sebagai dalil. Dalam hal ini ia menyebutkan dua peristiwa:
Pertama: Bukhari menyebutkan tentang berita-berita tersebut dalam Bab llmu bahwa Rasul pernah memberikan surat rahasia kepada menantunya, ‘AN bin Abi Thalib, dan beliau berpesan kepadanya agar tak membuka, dan memberikannya kepada orang yang namanya tertera di amplop surat itu. Jika Nabi mengamanatkan surat rahasia kepada ‘Ali, rnaka ‘Ali tak akan tahu isinya walaupun ia adalah menantu dan orang kepercayaan beliau. Lalu, siapakah yang menuliskannya kalau bukan Nabi sendiri?
Tentang peristiwa pertama:
Disayangkan, bahwa meskipun dalam Shahih Bukhari disebutkan masalah ini, tak disebutkan bahwa pembawa Surat itu adalah ‘Ali, sehingga dernikian menggugurkan dalii Dr. Sayyid Abdul Latif, karena ia memusatkan perhatiannya pada pribadi ‘Ali, dan kerahasiaan surat itu menunjukkan bahwa yang menulis adalah Nabi.
Bukhari berkata:
“Sebagian penduduk Hijaz berdalih bahwa mereka menemukan hadis Nabi yang menjelaskan bahwa beliau menuiis surat untuk seorang pemimpin pasukan bersabda: “Jangan kamu rnembacanya hingga kamu sarnpai di suatu tempatanu. Sesampai di tujuan, orang itu membacakan-nya kepada khalayak dan mengabarkan kepada mereka tentang Nabi saw.” (Bukhari Bab Ilmu jilid 1 hal 25)
Tetapi ia tak mengatakan bahwa pemimpin itu adalah ‘Ali. Apa yang tersirat dalam riwayat itu dapat diketahui bahwa pembuka surat itu adalah si pernbawa surat itu, bukan orang ketiga, sebagaimana yang diduga Dr. Sayyid Abdul Latif. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari itu berkaitan dengan kisah “Bain al-Nakhlah” yang dicatat dalam buku-buku sejarah.
Ibnu Hisyam (Sirah Ibn Hisyam jilid 1 halaman 601), dengan member! judul “Pasukan ‘Abdullah bin Jahsy”, menceritakan bahwa orang yang membawa surat tersebut adalah Abdullah bin Jahsy. Ketika itu Rasul memerintahkannya membuka surat itu setelah dua hari perjalanan. La menaati perintah ini. Dan ini terkutip dalam Bihar al-Anwar.M
Al -Waqidi menjelasakan dalam Maqhazi-nya bahwa penulis surat itu adalah ‘Ubay bin Ka’b, bukan Rasul. la mengatakan: “Mereka berkata bahwa ‘Abdullah bin Jahsy berkata: Selesai shalat Isya Rasul memanggil saya dan bersabda: ‘Setelah shalat shubuh, panggullah senjata, saya akan mengutusrnu ke suatu tempat’. la berkata: Setelah shalat shubuh, saya membawa pedang, busur, anak panah dan perisai. Saat itu Nabi sedang shalat shubuh berjamaah. Selesai shalat, ia menemui saya, yang lebih dulu berdiri di dekat pintu, dan melihat sekelompok orang Quraisy. Rasul memanggil ‘Ubay bin Ka’b. ‘Ubay masuk menernui beliau,maka beliau menyuruhnya menuliskan sesuatu, kemudian memanggilku dan memberikan kepadaku lembaran dari adyam khulany seraya berkata: ‘Saya mintakan kamu melakukan sesuatu untuk sekelompok manusia, rnaka rahasiakanlah isinya sampai kamu menempuh perjalanan dua malam. Setelah itu siarkanlah tulisanku’. Saya bertanya: Ya Rasulullah di daerah mana? Rasul menjawab, ‘berjalanlah kamu ke Najd, ke suatu sumur’.” Al- Waqidi berkata: “Kemudian ‘Abdullah bin Jahsy berangkat sampai ia tiba di sumur ibnu Dhamirah, lalu dibacakannya tulisan itu. Ketika itu, ditemukan kalimat: rahasiakanlah ini hingga di Batnul Nakhlah. Dengan nama Allah dan barakah-Nya, janganlah kamu rnembenci salahseorang sahabatmu dalam suatu perjalanan bersamamu, dan rahasiakanlah urusanku terhadap orang yang mengikutimu hingga tiba di Batnul Nakhlah. Kafilah Quraisy menunggunya, maka ketika ia membacakan tulisan itu kepada mereka, ia berkata: Bukan-nya saya rnembenci seorang dari kalian. Barangsiapa di antara kalian yang hendak menyaksikannya, hendaknya menjaga urusan Rasul, dan siapa yang ingin pulang, pulanglah sekarang juga. Mereka menjawab bersarna-sama: Kami mendengarkan dan taat kepada Allah, Rasul dan Anda.”( Maqhazi Al -Waqidi jilid 1 hal 13 -14)
Peristiwa kedua:
Peristiwa kedua ia jadikan sandaran, yaitu peristiwa Hubaibiyah. la berkata: “Sebagaimana yang dikutip oleh Bukhari dan Ibnu Hisyam bahwa Nabi memegang surat perjanjian dan menulisnya dengan tangannya sendiri.”
30. Maghaziy al-Waqidi, jilid 1, him 13-14.
Jawabnya:
1. Bukhari menyebutkan ini di dalam salah satu riwayat, tetapi berbeda dalam riwayat lainnya.
Para ulama Sunni kurang lebih sepakat lentang riwayat Bukhari itu, walaupun nampak bahwa perkataannya meragukan, malah maksud perawi itu justru sebaliknya.
Dan kita juga menemukan pengarang Sirah A!~Hala-biyah, yang setelah menyebutkan perisitwa itu dan menga-takan bahwa Nabi yang mulia rnerninta tolong kepada Ali untuk menghapus sualu kalimat, ia menukil riwayat Bukhari itu dan menguatkan bahwa sebagian mereka menggunakan alasan yang tidak tepat bahwa ini adalah sebagian dari mu’jizat Nabi, tapi ia menerangkan kesalahan pendapat ini dengan menyorjorkan pendapat ulama lain yang justru tidak menggambarkan maksud ini- Menurut ahli ilrnu, yang dimaksud adalah bahwa Nabi menyuruh menuliskarr. bukan beliau sendiri yang rnenulis. Di dalam Sirah Ibnu Hisyam tidak ada perriyataan itu. Kami tidak mengerti kenapa Dr. Sayyid Abdul Latif bersandar kepadanya.( As-Sirsh al-Halattiyah, jilid 3, him 22.)
Data yang ada pada karni mengisyaratkan bahwa kebanyakan inforrnasi ini dari kutipan sejarah, apa saja yang tersirat itu ditulis oleh ‘All. Malah gambaran yang didapat dari ath-Thabari dan Ibnu Atsir menyatakan bahwa walaupun Nabi tidak bisa menulis, beliau mengadakan perjanjian dan menulis dengan menggunakan tangan ‘Ali.
Berdasarakan ini, maka pengandaian yang lebih jauh tentang pengambilan dalil ini adalah bahwa Nabi menulis sekali atau dua kali dalam periode kerasulan. Sayang, pokok pernbahasan kita hanya pada periode kerasulan.
Sejak awal pembicaraan ini telah kami katakan bahwa musuh-musuh Nabi dan Islam pada waktu itu menuduh Nabi mengambil informasi dari orang-orang non-Islam, tetapi mereka tak meragukan sama sekali bahwa Nabi mengenal baca dan tulis. Beliau mengambil informasi dari buku-buku yang ada di sekitarnya.
Dapat saja seseorang menyatakan bahwa mereka mungkin saja menuduh Nabi demikian, namun, sebaliknya, Al-Qur’an menyatakan: “Dan mereka berkata dongengan-dongengan orang-orang dahulu dimintanya supaya ditu-liskan, maka dibacakantah dongengan itu kepadanya setiap pagidanpetang.” (Q. 25:5).
Tetapi jawaban, sehubungan dengan tuduhan mereka berdasarkan fanatisme dan perasaan menghina, Al-Qur’an menamakannya kezaliman dan kedustaan. Sesungguhnya ayat itu tidak jelas menyatakan bahwa Nabi menulis sendiri. Dengan demikian kata iktitab berarti al-kitabah (menulis} dan thalabul kitabah (meminta dituliskan), yaitu meminta orang lain menuliskan.
Pada akhir ayat tersebut terdapat petunjuk tentang suatu maksud, yakni arti yang kedua. Dengan demikian ayat itu mengantiung pengertian bahwa mereka berkata yang sesungguhnya tentang dongengan-dongengan orang-orang dahulu yang telah ditulis (atau telah di tulis oleh orang lain untuknya) dan dibacakan kepadanya setiap pagi dan petang. Iktitab berbentuk (waktu lampau} sedangkan imla’ berbentuk mudhari (waktu sekarang), ini menunjukkan bahwa masalah itu sudah tertulis sebelumnya, kemudian dibacakan kepadanya oleh orang lain pagi dan petang, kemudian ia mempelajarinyadan menghafalnya.
Jika kita menyatakan bahwa Nabi dapat membaca, makaapaalasanperkataan mereka, bahwaorang lain yang mernbacakan kepadanya setiap pagi dan petang, kemu-dian beliau belajardarimereka dan menghaialnya?Bahkan lebih pantas mereka menyatakan: Sesungguhnya beliau mempelajari dan menghafalnya.
Demikianlah tindakan khalayak lain kepada Nabi, bahkan mereka mengatakan Nabi gila dan tukang sihir, dan bahwa beliau mendengarsecara lisan dari mulutorang lain. Tapi mereka tidak dapat menuduh bahwa Nabi dapat membaca dan menulis, beliau membacakan kepada mereka isi kitab-kitab lain dan beliau menisbatkan itu kepada diri beliau sendiri.
KESIMPULAN
Dari sela-sela hukum sejarah yang pasti dan pem-buktian AI-Qur’an serta petunjuk-petunjuk sejarah yang banyak, ketahuilah kita bahwa Nabi tak pernah belajar dari manusia, tetapi belajar melalui pengajaran llahi, mengambil dari Yang Mahabenar. Beliau bagaikan bunga dengan pemeliharan tunggal, yakni Yang Maha agung dan Mulia. Walaupun beliau tak berhubungan dengan pena, kertas, tinta, baca dan lulls, namun kitab suci dan hadis beliau disajikan dalam bentuk tulisan sebagaimana ajaran suci ‘Nun, Demikalam dan apa yang mereka tulis (Q. 68:1) diperintahkan kepadanya pada awal kerasulannya, dan menerangkan kepandaian menggunakan pena, bahwa itu merupakan nikmat yang terbesar yang datang setelah nikmat penciptaan ‘Bacalah dengan Asma Tuhanmu yang telah menciptakan'(Q. 91:1).
Demikian juga kita lihat bahwa leiaki itu tak hanya berpegang pada tulisan. Kita tahu bahwa ketika masuk Madinah, ia membangkitkan dunia tulisan. Kita saksikan bagaimana leiaki itu, yang tak pernah belajar dari guru dan tak pernah sama sekali memasuki perguruan tinggi, la rnengajarkan kemanusiaan, rnenumbuhkan perguruan llnggi dan perguruan tinggi kesejarahan.
Imam Ar Ridha, dalam dialognya dengan para ahli
•agama, berkata kepada pemimpin Bani Israil yang sombong: “Dan begitulah urusan Muhammad saw serta segala yang dibawa setiap rasul yang diutus oleh Allah. Sebagian ayat AI-Qur’an yang menyatakan bahwa beliau seorang anak yatim, fakir, penggembala upahan, tak pernah belajar menulis dan tak pernah berguru pada seorang pun, hadir bersama AI-Qur’an yang banyak mengandung kisah para Nabi dan berita tentang mereka satu persatu serta berita mengenai orang-orang terdahulu dan sekarang hingga hari kiamat.”(uyun Akbar ar-ridha hal 136
Sesungguhnya manifestasi yang membuat manusia kagum dan lebih banyak menyingkap dari pada apa pun adalah kebesaran AI-Qur’an al-Karim. AI-Qur’an adalah kitab besar samawi mencakup segala bidang pengetahuan sejak dulu hingga hari akhir, tentang manusia, moral, undang-undang, kisah-kisah, pelajaran dan nasehat. Dan dengan segala keindahan dan kefasehannya, kitab ini berjalan dan berkembang melalui lisan seorang yang ummi; yang tak pernah memasuki perguruan tinggi dan tak pernah belajar dari orang alim di dunia, dan tak pernah membaca kitab-kitab yang paling sederhana sekalipun pada periodenya.
Sesungguhnya ayat dan mu’jizat yang Allah berikan kepada Nabi saw adalah mu’jizat kitab yang mengandung nilai balagah(sastra) yang tinggi dan mutakhir, menyangkut pikirran, perasaan dan jiwa. Mu’jizat Kitab ini tetap menampakkan kemampuannya yang maknawi dan luar biasa melalui berbagai masa; zaman tak dapat merusaknya.Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai

Kelembutan hati, merindukan setiap saat terjadi gelombang kehidupan sehingga. Betapa banyaknya akal yang meng-hasilkan buah pikiran, betapa banyaknya hati yang dibanjiri rasa rindu dan kerinduan, betapa banyaknya makanan burung yang diberikan di pagihari, betapa banyaknya air mata yang membasahi pipi karena cinta dan takut kepada Allah SWT dalam keheningan fajar dan kegelapan malam, dan betapa banyak kehancuran umrnat akibat penjajahan, penganiayaan dan kezaliman!!!
Memang pemeliharaan ilahi bagi kelestarian mu’jizat AI-Qur’an banyak, namun yang lebih banyak adalah den¬gan diturunkannya AI-Qur’an kepada hamba-Nya yang yatim pengembala padang pasir, dan tak pernah sama sekali memasuki perpustakaan dan lembaga pendidikan. (Itulahkeutamaan Allah yang la berikan kepadaseorang yang la kehendaki, Allah adalah zat yang memiliki keuta¬maan dan kebesaran).

==============================================

Tambahan

Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?

MEMBACA tulisan Prof Achmad Ali lewat kolom Hukum dan 1001 Masalah Kemasyarakatan di koran ini edisi 31 Oktober lalu yang menyoal benar tidaknya Nabi Muhammad saw buta huruf, memancing saya untuk menuliskan juga unek-unek saya tentang salah satu mitos yang masih dipegang kukuh oleh sebagian besar umat Islam ini.

Suatu hal yang disadari atau tidak, mitos tersebut justru menjadikan musuh-musuh Islam punya dalih menjelek-jelekkan agama Islam dan umatnya dengan menyebutkan bahwa nabinya saja bodoh, tidak tahu membaca dan menulis, apalagi umatnya.Karena itu, bukanlah suatu keanehan kalau umat Islam justru mengalami evolusi regresif, yakni berkembang ke arah keburukan, bukannya evolusi progresif, yakni makin lama makin baik, makin cerdas, makin berilmu. Ironisnya lagi, kebutahurufan nabi seakan menjadi kenyataan yang patut dibanggakan dan bisa membangun kepercayaan diri umat Islam.
Sebagai contoh, anak-anak kita ajari membaca dan menulis dan pada saat yang sama kita suguhkan cerita tentang nabi yang tidak tahu membaca dan menulis. Kebutahurufan Nabi Muhammad sepertinya sengaja dibangun untuk mengetengahkan sebuah argumen tentang betapa hebatnya mukjizat Alquran yang bersumber dari sesuatu yang Ilahi. Dengan teori “nabi yang buta huruf”, mukjizat terkesan semakin mencengangkan. Celakanya lagi, kebutahurufan dijadikan dalil untuk keabsahan risalah kenabian Nabi Muhammad, sesuatu yang tidak menjadi syarat keabsahan nabi-nabi sebelumnya.
Pertanyaannya, benarkah ajaran itu? Atas dasar apa nabi dianggap sebagai sosok yang buta huruf? Apakah ia pernah menyatakan dirinya betul-betul tidak mampu membaca dan menulis sejak kecil hingga akhir hayatnya? Lalu, jika ada anggapan ia mampu membaca dan menulis, apakah itu akan mengurangi keabsahannya sebagai utusan Allah?

Makna Ummi
Oleh beberapa yang disebut ulama Islam sejak dahulu, makna perkataan ummi dalam beberapa surah Alquran, misalnya Surah Al-A’raf 157 “nabi yang ummi” diartikan buta huruf, tidak pandai membaca dan menulis. Dan ajaran mereka diterima tanpa ragu
oleh hampir seluruh umat Islam sejak dari zaman dahulu hingga ke hari ini. Bahkan oleh ulama-ulama kemudian berusaha membenarkan dan mempertahankan mitos ini, termasuk yang dilakukan Prof Achmad Ali, yang sesungguhnya sejak awal telah menjadi polemik dalam diri beliau, karena sesungguhnya bagi siapapun, pendapat bahwa Nabi Muhammad buta huruf, tidak tahu membaca dan menulis adalah suatu kenyataan menyakitkan dan sangat sulit diterima.

Tidak ada larangan untuk meninjau kembali pandangan tersebut, apalagi itu hanyalah pendapat beberapa ulama. Pendapat ulama bukanlah sesuatu yang sakral. Kita bisa membandingkannya dengan pandangan Alquran dalam hal ini ayat-ayat Alquran yang mengandung kalimat “ummi” yang akan membuktikan bahwa pandangan Nabi Muhammad buta huruf bukan saja tidak sesuai kenyataan, tetapi juga berbau fitnah yang amat besar dalam Islam. Antara lain ayat yang dimaksudkan berbunyi; “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang “ummi” dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata” (Qs. Al-Jumuah : 2).

Kaum yang “ummi” yang disebut dalam ayat tersebut adalah kaum Arab. Orang-orang Arab pada zaman Nabi Muhammad diceritakan dalam buku sejarah, berada pada tahap tinggi dalam kesusasteraan dengan karya-karya sastera yang berkualitas dipamer dan ditempelkan di dinding Kakbah. Tentu itu tidak menggambarkan orang Arab jahiliah ketika itu berada dalam keadaan buta huruf. Mereka dikatakan jahiliah hanya dalam
persoalan aqidah dan kepercayaan, bukan dalam pelbagai bidang lain.

Kata “ummi”, menurut Alquran adalah orang-orang yang tidak, atau belum diberi satupun Kitab oleh Allah. Kaum Yahudi telah diberi tiga buah kitab melalui beberapa orang nabi mereka. Karenanya, mereka di sebut ahli kitab. Sedangkan orang-orang Arab, belum diberi satupun kitab sebelum Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang orang Arab. Hal ini dijelaskan-Nya dalam Firman-Nya: “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab, dan orang-orang “ummi” (yang tidak diberi kitab), sudahkah kamu tunduk patuh?” (Qs Ali Imran: 20).

Maka jelaslah, tidak seluruhnya kata “ummi” itu bermakna buta huruf. Lantas, apakah Rasulullah buta huruf? Alquran membantah pendapat ini secara terang-terangan dan
berkali-kali. Banyak ayat di dalam Alquran yang mengisahkan nabi diperintahkan supaya membaca ayat-ayat-Nya kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Hal ini menunjukkan nabi pandai membaca.

Contoh ayat dimaksud antara lain; “Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah, aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu….” (QS 6:151). Atau, “Demikianlah Kami mengutus kamu (Muhammad) kepada satu umat yang sebelumnya beberapa umat telah berlalu, agar engkau bacakan kepada mereka (Alquran) yang Kami wahyukan kepadamu.…” (QS 13:30). Atau, : “Dia yang mengutus kepada kaum yang ummi (orang Arab) seorang rasul (Muhammad) di kalangan mereka untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,” (QS 62:2). Baca juga dalam QS 5:27, QS 17:106, 27:91-92, QS 33:33-34, QS 39:71.

Tambahan pula, sulit menerima hakikat bahwa seorang Nabi pilihan-Nya tidak tahu membaca padahal ayat yang diturunkan pertama kali adalah perintah membaca, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS 96:1). Ayat Alquran yang pertama sudah menyiratkan bahwa bahwa Nabi Muhammad tidak buta huruf. Sebab, sebuah kesia-siaan saja bila Allah menyapa Nabi Muhammad dengan perintah untuk membaca (kalau beliau dianggap buta-huruf). Karenanya, bagi Syekh Al-Maqdisi, penulis buku Nabi Muhammad, Buta Huruf atau Genius? (Mengungkap Misteri “Keummian” Rasulullah) jawabannya jelas: Ada tafsir sejarah yang keliru terhadap kapasitas Rasulullah, khususnya dalam soal baca-tulis. Dan semua itu, bersumber dari kekeliruan kita dalam menerjamahkan kata “ummi” dalam Alquran maupun Hadis, yang oleh sebagian besar umat Islam diartikan “buta huruf”.

Menurut Al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”, tapi ketika menyangkut Nabi Muhammad, “ummi” di situ lebih berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau “non-Yahudi dan non-Nasrani”, atau orang-orang yang tidak diberi kitab. Termasuk Rasulullah dan orang Arab lainnya.

Alquran tidak hanya menjelaskan nabi pandai membaca, tetapi pandai menulis. Dalam
Alquran dijelaskan orang-orang kafir menuduh Rasul menulis dongeng-dongeng orang terdahulu dan disebutnya firman-firman Tuhan: “Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (QS Al-Furqan : 5).

Dan terakhir, terdapat sebuah ayat lagi yang insya Allah dapat menepis sama sekali keraguan terhadap Nabi yang dikatakan tidak pandai membaca dan menulis. Firman-Nya: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab sebelum (Alquran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, sekiranya engkau pernah membaca dan menulis niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.” (QS Al-Ankabut : 48).

Ayat ini menegaskan, Nabi tidak pernah membaca dan menulis satupun Kitab sebelum menerima Alquran. Maksudnya, setelah menerima Alquran, Rasul membaca dan menulis Kitab dengan tangan kanannya. Ayat ini pun menunjukkan, dengan tidak pernahnya Rasullullah membaca atau menulis satu kitab pun semisal Alquran, bukan berarti Rasulullah tidak tahu membaca dan menulis. Misalnya membaca dan menulis dalam urusan perdagangannya. Nabi adalah seorang pedagang yang terkenal. Dan para ahli sejarah sepakat, pada zaman Nabi tidak menggunakan angka-angka; huruf huruf abjad telah digunakan sebagai angka-angka. Sebagai seorang pedagang yang berurusan dengan nomor-nomor atau angka-angka setiap hari, Nabi tentunya tahu tentang abjad, dari satu sampai keseribu. Karenanya, tidak ada dalih yang kuat apalagi untuk mempertahankan pendapat Nabi Muhammad buta huruf.

Ini bukan persoalan sederhana, manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Dengan cerita, kita menyusun dan menghimpun pernik-pernik hidup kita yang berserakan. Naratif, kata filusuf Jerman Dilthey, adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens).

Apa pun yang membantu kita memberikan makna –pendapat, aliran pemikiran, mazhab, agama- selau didasarkan pada cerita-cerita besar, grand narratives. Cerita yang kita dapat tentang Nabi buta huruf yang wajib diteladani akan berpengaruh terhadap bagaimana kita menjalani dan melakukan pengorganisasian hidup.

Dr Muhammad Syahrur, Penulis Al-Kitab wal Quran tidak mau menerima cerita tentang buta hurufnya Nabi. Karenanya ia mengatakan, “Nabi memang ummi, tetapi beliau mampu membaca dan menulis.” Kalau keraguan masih ada, izinkan saya meminta untuk kembali membaca, surat pertama Tuhan kepada kekasih-Nya, “Bacalah (Muhammad) dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan….!” Wallahu ‘alam. *
Ismail Amin, Mahasiswa Institute for Language and Islamic Studies, Republik Islam Iran
Pernah dimuat di Harian Fajar http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=45001

Tinggalkan komentar