Makna Filsafat Israqiyah

Sayyid Husain Naser

Kata ishraq dalam bahasa Arab itu sendiri berarti iluminasi dan sekaligus juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur (sharq). Timur tidak hanya berarti timur secara geografis tetapi awal cahaya, realitas. Filsafat ishraqiyah berarti “ketimuran” dan “iluminatif’. la memancar karena ia adalah Timur dan ia Timur karena ia memancar. la adalah pengetahuan dengan pertolongan yang manusia dapat menyesuaikan dirinya sendiri dalam alam semesta dan akhirnya menjangkau bahwa Timur adalah tempat kediaman yang azali, sementara dalam bayangan dan kegelapan tentang keberadaan hidup manusia di bumi adalah di “barat”, di dunia wujud, tidak masalah dimana ia hidup secara geografis. Manusia spiritual atau iluminatif yang sadar tentang asal “Tlmur-nya”, oleh karena itu menjadi orang yang tidak dikenal dan terasing di dunia ini, seperti dilukiskan dalam suatu cerita simbolik karya Suhrawardi yang sangat fasih, Qissat al-ghurbat al-qharbiyyah(The Story of the Occidental Exile). Karya ini melalui kenang-kenangannya tentang tempat kediamannya yang abadi dimana bahwa manusia mulai memiliki suatu nostalgia tentang rumahnya yang benar dan dengan bantuan pengetahuan iluminatif bahwa ia adalah mampu menjangkau dimana kediaman itu ada. Pengetahuan ilumintaif, yang dibuat mungkin oleh hubungan dengan tatanan-tatanan malaekati, mentransformasikan keberadaan manusia dan menolongnya. Malaekat adalah instrumen iluminasi dan karena itu menjadi alat penyelamatan. Manusia telah turun dari dunia “cahaya-cahaya signirial” dan dikembalikan kepada dunia ini dan disatukan kembali dengan sifat kemalaekatannya, “teman karib yang dipercaya” bahwa manusia menemukan bagiannya yang murni sekali lagi.

Filsafat ishraqiyah melukiskan dalam sebuah bahasa simbolik secara imanen suatu dunia yang sangat luas berdasarkan pada simbolisme cahaya dan “Tlmur”, yang memutuskan batas-batas cosmologi Aristotelian dan juga batas-batas rasio yang didefinisikan oleh Aristotelian. Suhrawardi mampu menciptakan suatu metafisika cahaya secara esensialistik dan suatu

cosmologi yang jarang disejajarkan kemuliaan dan keindahannya yang menghadapkan pencari yang benar melalui ruangan cosmik dan membimbingnya kepada kenyataan cahaya sejati yang tidak lain adalah keberadaan Timur. Dalam perjalanan ini, sekaligus bersifat filsafat dan spiritual, manusia dipimpin oleh suatu pengetahuan yang merupakan cahayanya sendiri menurut pada sabda Nabi saw yang menyatakan; al-‘ilmu nurun (Knowledge is Light). Itulah mengapa filsafat, menurut wasiat dan keinginan Suhrawardi yang terakhir pada karyanya, Hikmat al-ishraq, tidak bisa diajarkan kepada setiap orang. Untuk hal tersebutjiwa manusia harus dilatih dengan latihan-latihan yang bersifat filosofis secara keras dan jiwanya harus disucikan melalui usaha batin untuk menundukkan ular naga batin yang berupa nafsu ruhani. Bagi orang-orang tertentu ajaran ishraqiyah menampakkan suatu pengetahuan batin yang tidak lain merupakan kebijaksanaan abadi atau sophia perennis yang memancar dan mentransformasikan, menghapus dan membangkitkan kembali sampai manusia mencapai pleroma dunia cahaya dan tempat kediamannya yang asli dari yang ia telah mulai kemusafiran cosmiknya.

Suhrawardi dan Ajaran Isfahan

Satu bagian periode dari abad VII/XIII sampai X/XVI dicirikan oleh penyesuaian besar antar berbagai ajaran filsafat Islam, sehingga Persia menjadi kancah utama aktivitas dalam filsafat Islam. Awal periode ini, filsafat Ibn Sina dibangkitkan kembali oleh Nasir al-Din al-Tusi, yang merupakan seorang filosof paripatetik Islam terkemuka. Komentarnya tentang Isharatwa ‘l-tanbihat danresponsnyaterhadap kritik-kritikFakhr al-Din al-Razi terhadap Ibn Sina, memberikan suatu pengaruh yang lebih besar pada filsafat Islam berikutnya daripada Tahafut al-tahafut karya Ibn Rushd. Tusi adalah cahaya terkemuka dalam suatu lingkungan filosof yang lebih luas termasuk tidak hanya Qutb al-Din al-Shirazi yang telah disebutkan, tapi juga Dabiran-i Katibi Qazwini (w. 675/1276) penulis Hikmat al-‘ayn (Wisdom from the Source). Filosof paripatetik lain yang juga terkenal pada periode yang sama yang perlu disebutkan adalah Amir al-Din al Abhari (w. 663/1264), yang Hidayat al-hikmat-nya (Guide of Philosophy) menjadi populer sepanjang abad-abad berikutnya, khususnya dengan komentar Mulla Sadra.

Barangkali filosof yang lebih khusus lagi pada periode ini yang dikatakan telah memiliki hubungan dengan nasir al-Din adalah Afdal al-Din Kashani (w. 610/1213) dikenal juga sebagai Baba Afdal. Seorang Sufi eminen yang pusaranya di tempat Ka’bah sampai hari ini, Baba Afdal adalah seorang ahli logika dan metafisikawan yang brillian. la menulis sejumlah karya berbahasa Persia yang kedudukannya sejajar dengan penjelasan-penjelasan Suhrawardi, di antara karya-karya besar terkemuka tentang prosa filosofis berbahasa Persia.59 Karyanya masih

Philosophy, ed. M.M. Sharif, 2:383-91.

  1. Semua karya-karyanya yang masih ada telah diedit secara kritis dan dipublikasikan oleh M. Minovi dan Y. Mahdavi dalam Musannafat (2 vol.; Tehran: Tehran Uni­versity Press, 1952-58). Tentang tokoh yang tersohor ini lihat S.H. Nasr, “Afdal