MENGENAL SALAH SATU CUCU BAGINDA NABI SAW (ZAINAL ABIDIN)

Pada lima dasawarsa terakhir abad pertama hijriyah, umat Islam menyaksikan berbagai tragedi yang mengerikan. Lima puluh tahun setelah Rasulullah saw. wafat, cucu-cucunya dibantai di Karbela. Husain, yang pernah ditimang Rasul ketika ia berkhotbah dan diletakkan di punggungnya ketika ia bercanda, diinjak-injak kaki kuda. Kepalanya, yang sering diusap Nabi, diarak sepanjang ratusan kilometer. Bibirnya, yang sering dikecup Nabi, ditusuk-tusuk dengan tongkat Ya/id, sang penguasa waktu itu.

Husain, bersama tujuh-puluh orang dari keluarganya, syahid; menandai derita ahli bait yang berkepanjangan. Penguasa membenci bukan saja ahli bait, juga mereka yang mencintai ahli bait. Kumail bin Ziyad, sahabat Ali bin Abi Thalib, dikejar-kejar karena tidak mau melepaskan kecintaan kepada keluarga Nabi. Sanak-saudaranya disandera Al-Hajjaj. Kumail mengalah; “Aku sudah tua. Usiaku sudah lanjut. Aku tidak ingin di hari tuaku menjadi penyebab kesengsaraan keluargaku.” Al-Hajjaj menyembelihnya, seperti ia menyembelih kambing tua.

Said bin Jubair sembahyang di belakang Ali Zainal Abidin, putra HuSain. Ia ditangkap Khalid Al-Qasri dan dihadapkan pada — lagi-lagi — Al-Hajjaj. Kepalanya dirapatkan ke tanah dan Said dipancung. Ketika kepalanya jatuh — begitu kata ahli tarikh Islam Ibn Atsir — bibirnya mengucapkan La ilaha illallah tiga kali; satu kali dengan fasih, dan dua lagi tidak fasih.
Ketika Al-Hajjaj mati, kata Al-Mas’udi dalam Mumj al-Dzahab 3:175, dipenjaranya masih tinggal lima puluh ribu orang laki-laki, dan tiga puluh ribu orang perempuan. Enam belas ribu di antara mereka telanjang. Mereka ditahan dalam penjara terbuka, dibakar panas matahari di musim panas dan disengat salju di musim dingin. Dosa mereka hanya-lah karena mereka mencintai ahli bait. Dan ahli bait adalah musuh penguasa waktu itu.
Al-Hajjaj adalah tonggak kekuasaan Bani Umayyah. Umar bin Ab-dil Aziz berkata, “Seandainya seluruh penjahat dari berbagai golongan dihimpunkan, lalu kita hanya menampilkan Al-Hajjaj, kejahatanya akan mengalahkan semuanya”. Al-Hajjaj memang mewakili penguasa yang zalim, keras, dan penindas. Lalu, siapa wakil dari mereka yang teraniaya? Siapa tokoh ahli bait di zaman itu?

Pada babakan tarikh Al-Hajjaj ini, di Madinah hidup seorang dari keturunan nabi. la terkenal lembut, murah hati, dan penyayang. la sahabat kaum fakir miskin. Hampir setiap malam, secara incognito ia membagikan makanan kepada mereka. Bila Al-Hajjaj membunuh orang yang tidak disukainya, ia memaafkan orang yang memakinya. Ketika seseorang memaki-maki cucu rasul ini di hadapan pengikutnya, ia diam. Ketika pemaki itu pergi, ia menyusulnya. “Saudaraku,” katanya lembut, “engkau baru saja datang ke tempatku dan mengatakan apa yang engkau katakan. Jika yang engkau katakan itu memang ada pada diriku, aku bermohon mudah-mudahan Allah mengampuniku. Jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada diriku, semoga Allah mengampunimu”.

Suatu hari budaknya mengikutinya ke padang pasir. la ditemukan sedang sujud di atas batu yang kasar. la terdengar terisak-isak menangis, seraya mengulang-ulang seribu kali: la ilaha illallah, haqqan haqqa. La ilaha illallah ta’abbudan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa. (Tidak ada tuhan kecuali Allah, yang sebenar-benarnya. Tidak ada tuhan kecuali Allah kepada-Nya merunduk dan menghamba. Tidak ada tuhan kecuali Allah, dengan keimanan dan ketulusan). Ketika ia bangun, wa-jah dan janggutnya basah dengan air mata. “Ya Sayyidi”, kata si budak, “belum jugakah datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu ber-kurang?” la menjawab, “Bagaimana engkau ini, Ya’qub bin Ishaq adalah nabi dan putra nabi. la mempunyai dua belas orang anak. Seorang di an-taranya hilang. Yaqub menderita sehingga kepalanya beruban, pungung-nya bungkuk, dan penglihatannya hilang karena menangis. Padahal anak yang ditangismya masih hidup di dunia ini. Aku melihat ayahku, saudara-ku, dan tujuh belas orang ahli baitku dibantai di depanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisanku”.

12509126_1656673881274099_2797845746967445258_n

Inilah Zainal Abidin, cucu Rasulullah saw. yang masih tinggal setelah terjadi pembantaian di Karbela. Ia digoncang prahara yang besar. Sanak-saudaranya dibunuh, sahabat-sahabatnya dianiaya, dan dirinya juga senantiasa diancam maut. Ke manakah ia berlari dari kemelut masyarakat di sekitarnya? Ke manakah ia berlindung dari kezaliman penguasa di zanmya? Di manakah ia merintih mengadukan segala dukanya?

Soatu malam Al-Ashma’i, seorang peziarah ke Tanah Haram, ber-thawaf mengelilingi Ka’bah. la mendengar isakan tangis yang memelas. Dalam temaram cahaya bulan, ia melihat seorang pemuda tampan ber-gantung ke tirai Ka’bah. la mendengar pemuda itu berdoa:

“Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku
Mata banyak telah tertidur, bintang gemintang telah tenggelam
Tetapi Engkau Maharaja Yang Hidup dan Jaga

Tuhanku, raja-raja telah menutup pintu-pintunya
dan tirai telah membungkusnya Tetapi pintu-Mu terbuka buat para peminta

Inilah aku, memohon di depan pintu-Mu
pedosa yang malang dan sengsara

Aku menghadap-Mu, menanti kasih-Mu
Wahai Yang Pemurah, Wahai Yang Pengasih
Aku bermohon pada-Mu, ya Rabbi
dengan hati yang hancur, tetapi mengharapkan petolongan
sayangi tangisanku, demi hak Al-Bait dan Al-Haram”2)

Sesudah itu, ia menjatuhkan diri, meratakah dahinya di atas tanah. la bersujud lama sekali. Dari bibirnya tidak henti-hentinya keluar rintihan suci, Al-Ashma’i segera mengetahui. Pemuda itu adalah All Zainal Abidin. la adalah cucu Rasulullah saw. yang digelari As-Sajjad, yang banyak sujud.^)

Nabi pernah berlindung kepada Allah dari doa yang tidak didengar dan hati yang tidak khusyuk. Doa yang didengar dan hati yang khusyuk tidak dapat dipisahkan. Allah tidak akan mendengarkan doa dari pendoa yang lalai, yang hatinya kosong. Kapan hati kita tenggelam dalam doa? Kita berdoa khusyuk hanya bila kita merintih, bila kita mengadukan segala duka dan harapan kita di hadapan Rabbil ‘Alamin, bila kita merasakan segala kelemahan dan kehinaan kita.

Kita semua pernah mengalami guncangan hidup. Ada saat-saat ketika kita terdesak pada tembok yang kokoh. Kita merasa segala daya kita telah tiada, seluruh kemampuan telah terputus. Pada saat itu, kita datang menghampiri yang Mahakasih lagi Mahakuasa. Bukankah Nabi Musa per¬nah bertanya “Ya Allah, di mana aku harus mencari-Mu?”, lalu Allah menjawab, “Carilah Aku di antara orang-orang yang hancur hatinya!’^” Pada saat hati kita hancur, kita merasa dekat dengan Dia. Sayangnya, ketika hati kita dipenuhi keharuan, lidah kita tidak sanggup mencari kata-kata yang secara tepat melukiskan perasaan kita. Untuk doa yang khusyuk, memang, di samping gelora hati diperlukan kefasihan.

Ahli bait adalah keluarga yang hampir sepanjang sejarah ditindas dan dianiaya. Mereka adalah orang-orang suci yang selalu dekat dengan Allah. Mereka adalah pembawa obor, pemimpin kafilah rohaniah yang sedang berjalan menuju Yang Mahakasih. Allah menganugerahkan kepada mereka — di samping kesucian hati — kefasihan berbicara. Ali bin Abi Thalib terkenal karena kepiawaiannya dalam menggunakan bahasa. Kumpulan khotbahnya dan ucapannya, Nahjul Balaghah, merupakan bukti abadi , untuk itu. Gibbon, dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire menulis tentang Ali, “He united the qualification of a poet, a soldier, and a saint. His wisdom still breathes in a collection of moral and religious saying; and every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdued by his eloquence and valour” (Ali menggabung-kan kemampuan pujangga, prajurit, dan orang suci. Kebijakannya masih memancarkan kumpulan ucapan agama dan moral. Setiap musuhnya dalam petempuran lidah atau pedang dikalahkan oleh kefasihannya dan keberaniannya”).

Fatimah pernah menyampaikan pidato di depan Abu Bakar. Seluruh pendengarnya tak sanggup menahan tangisan. Fatimahlah yang datang ke pusara ayahnya, Muhammad saw., dan mengambil segenggam tanah kuburan seraya berkata:
“Apatah bagi yang telah mencium tanah pusara Ahmad tak kan mencium lagi semerbak sepanjang masa Telah menimpa daku bencana Yang membuat siang menjadi malam gelita”
Dari All dan Fatimah — semoga Allah melimpahkan kesejahteraan bagi mereka — para imam ahli bait mewarisi kesucian dan kefasihan. Doa-doa ahli bait, karena itu, tak pelak lagi membawa hati kita kepada ke-khusukan.

Ketika Ali Zainal Abidin r.a. 4) pulang dari istana Yazid, ia rriemasuki Tawma, pintu kota Damaskus. Seorang tua mendekati rom-bongan Zainal Abidin, “Alhamdulillah, Allah telah membunuhi kalian, membinasakan kalian, ‘mengistirahatkan’ tokoh-tokoh kalian, dan rrie-menangkan Amir al-Mukminin”. Ali bin Husain bertanya, “Hai orang tua, pernahkah Anda membaca Alqur’an?”

– Ya, pernah.
+ Tahukah Anda ayat ini, “Katakanlah Aku tidak meminta upah kepada kalian kecuali kecintaan pada keluarga (al-qurba)” (Asy-Syura23)

– Aku pernah membaca itu.
+ Kamilah ‘al-qurba’ itu, hai orang tua. Pernahkah Anda membaca
dalam surat Bani Israil, “Berikan pada keluarga haknya” (Al Isra
26)6)
– Aku pernah membacanya.
+ Kamilah keluarga yang dimaksud itu, hai orang tua.

Pernahkah Anda membaca, “Ketahuilah, apa-apa yang kamu peroleh itu berupa apa pun maka sesungguhnya seperlimanya buat Allah, Rasul-Nya, dan dzal qurba” (Al-Anfal 41)7)

– Aku pernah membacanya.

+ Kamilah itu ‘dzal qurba’, hai orang tua. Pernahkah Anda

mem¬baca, “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan kenistaan dari kalian, hai ahli bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya” (Al-Ahzab 33)8>

– Aku pernah membacanya.

+ Kamilah ahli bait yang dikhususkan dengan ayat pensucian ini. Dan ini catatan saya yang terakhir. Ketika K.H. Abdullah bin Nuh, ulama besar dari Pesantren Al Ghazali Bogor, menulis buku Keutamaan Keluarga Rasulullah saw.9\ Al-Hamid Al-Husaini, penulis banyak buku tentang sejarah keluarga Nabi, memberikan kata sambutan. Saya kutipkan sebagian daripadanya:

“Mungkin ada orang yang berkata: Bukankah menganjur-anjur-kan kecintaan kepada ahlubait Rasulullah saw. sejalan dengan ajaran madzhab Syi’ah? Pertanyaan seperti itu sebenarnya timbul dari ke-kurangan pengertian mengenai ajaran Islam selengkapnya. Yang menganjurkan, yang menyerukan, bahkan yang mewajibkan kecintaan kepada ahlubait Rasulullah saw. adalah beliau saw. sendiri. Yang menetapkan kesucian ahlubait Rasulullah saw. bukan madzhab dan bukan aliran, melainkan Allah swt. melalui firman-Nya dalam Al-qur’anul-Karim. Yang meriwayatkan Hadits-hadits Nabi tentang wasiat mengenai ahlubaitnya bukan lain adalah para sahabat Rasulullah saw. Dan yang menyampaikannya kepada ummat Islam sedunia adalah para Imam ahli Hadits dan para ulama puncak dari semua madzhab. Bahkan Imam Syafi’iy r.a. sendiri menetapkan keharusan mengucapkan shalawat bagi sayyidina Muhammad dan ala sayyidina Muhammad dalam doa tasyahhud akhir pada tiap salat fardlu lima kali sehari-semalam. Jadi, kalau madzhab Syi’ah mengajarkan kepada para pengikutnya supaya mencintai ahlubait Rasulullah saw. itu adalah kewajiban mereka, sebagaimana yang telah menjadi kewajiban seluruh. kaum Muslimin tanpa memandang perbedaan madzhab yang dianutnya.”