Nika Misyar (niat Talak) dalam ajaran Wahabi dan Mut’ah dalam Ajaran Sunni sebuah catatan

 

Mengapa tulisan ini di berinama judul “Nika Misyar (niat Talak) dalam ajaran Wahabi dan Mut’ah dalam Ajaran Sunni sebuah catatan” karena semua literatur yang menceritakannya berasal dari hadis sunni dan wahabi. Para ulama mereka kebingunagan dalam memastikan ajaran ini sehinggah sebagian ulama mereka terutama wahabi mentransformasikan pernikahan ini dalam bentuk NIKA NIAT TALAQ ” [Kawin Kontrak Ala Wahabi], pembaca juga bisa melihat disini KAWIN KONTRAK ALA WAHABI-SALAFI. lebih jelasnya cari  disni bagaimana pernikahan ala wahabi ini di bahas..  Kemudian bisa juga lihat disini , saya kira ini teramat banyak pembahasan soal tentan nika MISYAR (NIKA NIAT TALAK) DALAM AJARAN WAHABI ) , begitu juga JIHAD SEKS , dan Disini .

BACA JUGA:
Negara Tunisia Mengaktifkan Alarm terhadap Kemungkinan Fatwa yang Mendorong ‘Jihad Seksual’
LIHAT VIDEO…. ini semua adalah akibat dari ajaran wahabisme si tukan fitnah …

kilik > Fatwa ‘perko saistri’ dari ulama Salafi Mesir timbulkan kecaman

Terlalu banyak menggesek JIDAT ke tembok lantai mesjid dan Sajadah yang kasar sampai lupa akan MORAL dan HARGA DIRI…Shalat hanya di jadikan untuk menggesek dan menghitamkan JIDAT…….Bukan mencegah yang mungkar….

Sementara dunia sunni sendiri tercipta satu kondisi dimana para generasinya :maaf ” tak ubahnya bagaikan memasuki peradaban barat dimana hubungan antara lawan jenis seakan-akan tak ada lagi aturan , ini di tandai dengan kehamilan di luar nika dan maraknya prostitusi yang kita lihat sehari-hari , bahkan sampai pada tingkat pesta seks di ujung tahun baru, bahkan sering kita dapatkan pemerkosaan para ustad terhadap santri di pesantren , saya yakin ini adalah salah satu karmah yang di perlihatkan kepada mereka ”  Maaf kalau saya menulis seperti ini , karena saya melihat generasi ini (sunni-wahabi ) sangat keterlaluan dalam hal membuat fitnah terhadap mazhab yang berbeda , memahami sebuah mazhab dengan dasar tudingan semata , memaksakan kehendak pahamnya untuk di yakini orang lain… berikut bukti-bukti dari literatur ajaran mereka , tinggal pembaca sendiri yang menilainya..

Sebagian data untuk wajah keberagamaan sunni >

http://daerah.sindonews.com/read/2013/10/23/22/797391/ustad-pondok-pesantren-perko

Guru Ngaji Cabuli 13 Santri http://www.koran-sindo.com/node/303494

oknum-ustad-cabuli-tiga-santrhttp://www.jambiekspres.co.id/berita-6765-oknum-ustad-cabuli-tiga-santri.html

http://www.infobondowoso.net/2014/02/ustad-asal-prajekan-diduga-cabuli.html

http://buser.liputan6.com/read/257897/tak-dipuaskan-istri-ustad-cabuli-para-santrinya

http://metropolitan.inilah.com/read/detail/418361/ustad-cabuli-santrinya-sejak-2005#.UzvTvKhdV1c

http://id.shvoong.com/society-and-news/2224839-guru-ngaji-tak-tahan-uji/

http://pekanbaru.tribunnews.com/2013/06/07/pimpinan-pesantren-al-ihsan-bantah-oknum-ustad-cabuli-santri

http://www.kabar6.com/tangerang-raya/tangerang-selatan/7373-cabuli-3-santri-istana-yatim-ustad-mms-akhirnya-masuk-bui.html

HATI2 MEMASUKKAN KELUARGA ANDA KE PESANTREN, BANYAK PEMERKOSAAN DISANA, SEBAGAIMANA YANG DI LANSIR OLEH BEBERPA MEDIA DI ATAS, DI PESANTREN DI AJARKAN AGAMA YANG LEMAH DASARNYA…SEHINGGAH JUSTERU PARA USTANYA MALAH MEMPERKOSA…Mengapa sunni tak sada akan hal ini?.. hanya sibuk mengikuti cara berpikir wahabi….

Berikut literaturnya ajaran sunni wahabi :

Dalam ajaran  Wahabi ada nika niat talak di sebut Misyar ,,, fatwah jihat seks, membolehkan memperkosa dalam perang. Wisata seks… sunggu sangat luar biasa..

Ajaran Ahlusunna ada Sirri (nika sembunyi-sembunyi), kawin cerai … hebat!!!… sangat hebat ….sibuk membicarakan orang lain, tapi dunianya di penuhi prostitusi,  selingku,  maraknya kehamilan di luar nika, ada yang hamil begitu saja lalu di tinggal lakinya, pacaran sana sini bak suami isteri , pesta seks, peradilan agama di penuhi perceraian…luar biasa , sibuk  menutupi moral kotornya dengan membeicarakan orang lain …

Menurut   ajaran sunni-wahabi   ASMA’ BINTI ABUBAKAR sebagai pezina dan melahirkan  2 anak zina

SEORANG ULAMA SUNNI MENZINAHI 90 WANITA

ASMA’ BINTI ABUBAKAR NIKAH MUTAH  DAN MELAHIRKAN  2 ANAK zina    .

KESAKSIAN MUSLIM DAN ABU DAWUD
(1) Muslim meriwayatkan haji mut’ah dan nikah mut’ah dalam 2 versi:
(a) Dari Syu’bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :
“Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut’ah haji. Beliau menjawab:’Boleh’. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab:’Rasul membolehkannya’.”
(b) Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan “mut’ah haji”, melainkan “mut’ah” saja. Menurut Ibnu Ja’far dari Syu’bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :”Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut’ah haji atau nikah mut’ah”.
[Sahih Muslim, Jilid 1, Subbab “mut’ah haji”].

(2) Riwayat versi kedua dari Muslim tersebut diperkuat juga dengan riwayat dalam Musnad Abu Dawud, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu’bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan:
“Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma’ binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut’ah. Dijawab olehnya:’Kami melakukannya di zaman Rasul’.”

PERDEBATAN IBNU ABBAS DENGAN URWAH DAN ABDULLAH BIN ZUBAIR
(1) Ayyub berkata :
“Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :’Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut’ah?’. Ibnu Abbas menjawab:’Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah’. Kemudian Urwah mengatakan:’Abubakar dan Umar tidak melakukannya’. Ibnu Abbas menjawab:’Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu.
[Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, Jilid 1, Hlm 213]
Dalam hadits ini, kata “mut’ah” adalah “nikah mut’ah”. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.
[Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, Jilid 6, Hlm 404]

(2) Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair :
“Adapun tentang mut’ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma’, tentang selendang ‘Ausajah”. Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma’) berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.
[Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, Jilid 20, Hlm 130]

(3) Dari Ibnu Abi Mulaikah:
Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas:”Orang-orang mendurhakaimu”.
Ibnu Abbas menanyakan:”Apa sebabnya”.
Berkata Urwah: ”Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut’ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya”.
Ibnu Abbas menghardik: ”Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar”.
[Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, Jilid 20, Hlm 130]
[Lihat juga Musnad Ahmad, Jilid1, Hlm 337]

(4) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
“Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut’ah. Kemudian Jabir berkata: ”Kami pernah melakukan kedua jenis mut’ah tersebut (mut’ah haji dan nikah mut’ah) bersama Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi”.
[Sahih Muslim, Jilid 1, Bab “Nikah Mut’ah”]

(5) Dari Abu Nadhrah, dia berkata:
“Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut’ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : ‘Dahulu aku pernah melakukan nikah mut’ah bersama Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan:’Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut’ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu’”
[Sahih Muslim, Jilid 1, Subbab “Masalah kawin Mut’ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh”]

(6) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut’ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata; “Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu”. Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : “Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut’ah”.
[Ar-Raghib, dalam “Al-Muhadharat”, Jilid 2, Hlm. 94]
.
(7) Pada riwayat tersebut di atas, pada riwayat Muslim, Ibnu Abbas berkata :
“Demi Allah, nikah mut’ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa”. Lalu Abdullah bin Zubair menimpali: “Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya”.
[Sahih Muslim, Jilid 4, Hlm 133].

PERNYATAAN IBNU ABBAS LAINNYA
Ibnu Abbas berkata: “Perapian pertama yang menyala dalam mut’ah adalah perapian keluarga Zubair”
[Ibn Abdu Rabbih, dalam “Iqdu Al-Farid”, Jilid 4, Hlm 414]

Catatan: “perapian yang menyala” adalah kiasan arab yang berarti “bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri”. Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.
Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang “satha’at al-majamir (perapian yang menyala)” ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
[Lihat Musnad Ahmad, Jilid 6, Hlm 348-349]

KESIMPULAN
(1) Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma’ dan Zubair melakukan nikah mut’ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh (a) Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan (b) Urwah ataupun (c) Abdullah bin Zubair, juga (d) pernyataan Asma’ sendiri.

(2) Masih banyak referensi lainnya yang mendukung uraian di atas seperti: (a) Abu Umar, dalam “Al-’Ilm”, Jilid 2, Hlm 196; (b) Thabari, dalam “Jami’ Al-Bayan”, Jilid 2, Hlm. 239. dll.

Imam Syafi’i menegaskan bahwa Ibn Juraij telah bernikah mut’ah dengan 90 orang perempuan,
sementara ad-Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut’ah dengan 90 orang perempuan.[Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408].
Perhatikanlah Ibn Juraij adalah seorang daripada Tabi’in dan imam masjid Mekah, telah berkawin secara mut’ah dengan 90 orang perempuan dan dia juga telah meriwayatkan hadith yang banyak di dalam sahih-sahih Ahlus- Sunnah seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain.

HADIS PELARANGAN MUT’AH DI KHAYBAR HANYA REKAYASA !!! INI BUKTINYA

 Nikah Mut’ah tidak dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei karena ““Nikah Mut’ah harus didukung oleh OTORiTAS PENUH NEGARA dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””

Nikah  Mut’ah  tidak  dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei  karena  ““Nikah Mut’ah harus didukung  oleh  OTORiTAS PENUH NEGARA  dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki  tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””

Indonesia – Malaysia dan Brunei  bukan negara Islam bermazhab syi’ah…

Jika anda menemukan pemerkosa di tiga negara tersebut, dapatkah anda menggantung nya hidup hidup tanpa didasari HUKUM NEGARA ?

Jika anda melakukan, maka bisa bisa anda masuk penjara…

Pernikahan da’im tidak bisa dilakukan untuk tujuan pendekatan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama, setelah ‘aqd nikah da’im, seorang istri tidak bisa menjatuhkan thalaq kepada suaminya jika sekiranya dia menemukan bahwa ternyata suaminya tidak (atau kurang) baik. Dalam kasus ini, jika seorang laki-laki menyukai istrinya tetapi istri tidak terlalu suka kepada suaminya, maka tidak akan terjadi thalaq. Dengan demikian, menggunakan periode awal nikah da’im bagi laki-laki dan perempuan yang ingin hidup bersama sebagai waktu saling menjajaki hanya akan menguntungkan pihak laki-laki saja. Sebaliknya, nikah mut’ah akan berakhir pada waktunya. Dan selanjutnya, baik laki-laki maupun perempuan, akan mempunyai hak yang sama untuk membuat keputusan (apakah akan melanjutkan ke nikah da’im atau tidak).

Kedua, di dalam perjanjian nikah da’im, seseorang tidak bisa menolak percampuran atau hubungan seksual. Dengan kata lain, hubungan seksual adalah kemestian dan kewajiban dalam nikah da’im. Sebaliknya, kewajiban dan kemestian ini tidak ada di dalam nikah mut’ah. Lantas bagaimana mungkin seorang perempuan melakukan nikah da’im “hanya untuk mengenal” suaminya lebih dekat.?

Ketiga, mekipun orang dapat menceraikan istrinya, tetapi perceraian adalah sesuatu yang dibolehkan tetapi sangat dibenci di dalam Islam. Alasannya adalah, suami istri semestinya hidup dalam kebahagiaan dengan segala tanggung jawab moralnya. Jika seorang laki-laki yang setelah sebulan hidup bersama istrinya, setelah mengambil keperawanan dan kesuciannya, tapi kemudian dia menceraikannya di dalam periode penjajakan ini hanya dengan alasan suami tidak terlalu menyukainya, keadaan ini akan menjadi pukulan yang berat bahkan menjadi beban psikologis bagi perempuan tersebut.

Harus diingat, walaupun seorang suami melakukan hal yang memalukan ini, tidak ada seorangpun yang bisa menghukumya karena dia menggunakan hak thalaqnya. Tetapi, tindakan ini secara moral jelas menjijikkan. Oleh karena itu, nikah da’im bukanlah pilihan yang tepat untuk masa penjajakan dan saling mengenal antara laki-laki dan perempuan. Ingat, pilihan kita haruslah praktis dan bersifat teknis, tidak didasarkan pada pendapat dan asumsi-asumsi yang sangat ideal. Kita tidak bisa menjamin bahwa laki-laki dan perempuan akan benar-benar saling mempercayai satu sama lain sebelum menikah.

Sebaliknya, nikah mut’ah tidak mempunyai resiko apa-apa. karena :
Pertama, laki-laki maupun perempuan sudah mengetahui bahwa mereka akhirnya akan berpisah setelah waktunya berakhir sehingga mereka tidak akan terkejut dan mencemaskan perceraian mereka.

Kedua, tidak ada satupun di antara mereka yang mempunyai tanggung jawab moral (maupun tanggung jawab hukum, pent.) untuk melanjutkan pernikahan setelah periodenya berakhir.

Di samping itu, suami tidak berhak memaksa istri untuk melanjutkan pernikahan tersebut setelah periodenya berakhir, demikian pula sebaliknya. Dan seperti yang telah kami sebutkan, mereka dapat mensyaratkan bahwa hubungan seksual tidak ada selama periode nikah mut’ah yang mereka jalani.

Bismillah 
Bi Haqqi Muhammad wa Aali Muhammad

Di dalam semua riwayat yang dicatat oleh Bukhari di bab 155 dari Maghazi mengenai kejadian di dalam Khaybar, hanya satu yang berbicara mengenai pelarangan Mut’ah, yang ditujukan kepada Imam Ali as mengenai riwayat-riwayat yang mengacu pada larangan makan daging keledai-keledai domestik, tetapi tidak menjadi acuan atas pelarangan Mut’ah. Riwayat-riwayat tersebut adalah:

  • Riwayat No.668-669, dari Anas bin Malik (hanya keledai-keledai domestik, yang tersebut).
  • Riwayat – riwayat No.684, 68e, 687, dari Ibn Omar (hanya larangan memakan daging dari keledai-keledai domestik dan bawang putih,  yang tersebut).
  • Riwayat No.688, dari Jabir bin Abdullahi (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
  • Riwayat-riwayat  No.689 dan 690, dari Ibn Aufa (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
  • Riwayat No.693, dari Bara’ bin Azib (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang  tersebut).
  • Riwayat No. 694 dari Ibn Abbas (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
  • Di dalam Sahih Muslim, riwayat No.4440, (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
  • Riwayat No.4765, dari Abu Tha’laba (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang  tersebut).
  • Riwayat-riwayat No.4768 & 4769, dari Abu Aufa (hanya larangan daging keledai-keledai domestik, yang tersebut).
  • Riwayat-riwayat No.4770, 4771, 4772, 4773, dari Adi Ibn Thabit , dari Bara’ dan Abdullah bin Aufa, ( hanya larangan daging keledai-keledai domestik, yang tersebut).

Kami akan  memohon kepada kalian untuk mempergunakan otak dan untuk menggunakan logika anda, jika Rasulullah (saww) membuat satu deklarasi terbuka pada Khayber, bahwa memakan daging keledai dan melakukan Mut’ah adalah haraam. Bagaimana mungkin bahwa semua Sahabat mendengar tentang keledai-keledai domestik tetapi menjadi yang tuli tentang Mut’ah?

Tolong dicatat bahwa Ibn Abbas dan Jabir bin Abdullah Ansari keduanya hadir di Khaybar dan mereka tidak mengetahui tentang apapun mengenai adanya larangan tersebut di Khaibar sampai genap 58 tahun setelah kematian Nabi (saww) dan membawa ketidak-tahuan ini sampai mereka di kuburkan!

Jabir bin Abdullah Ansari:

Jabir menceritakan riwayat-riwayat berikut tentang pelarangan mengenai memakan daging keldeai domestik pada saat Khaybar.

  1. Sahih Bukhari, Volume 5, Book 59, Number 530
  2. Sahih Bukhari, Volume 7 Book 67, Number 429
  3. Sahih Bukhari, Volume 7 Book 67, Number 433
  4. Sahih Muslim, Book 021, Number 4779
  5. Sahih Muslim, Book 021, Number 4780

Jabir bin Abdullah menceritakan : “ Pada saat Khaybar, kami memakan (daging) kuda dan binatang liar, tetapi Rasulullah saww melarang kami (untuk memakan) daging keledai domestik.”

Bagaimana mungkin Jabir bin Abdullah Ansari mengetahui mengenai pelarangan memakan daging keledai domestik, tapi tidak mengetahui sama sekali mengenai  pelarangan Mut’ah, bahkan setelah 58 tahun Rasulullah saww wafat ?

Tolong diperhatikan bahwa riwayat ini diceritakan oleh seorang tabiin yang bernama Ibn Juraij dari Jabir bin Abdullah Ansari. Ibn Juarij adalah seorang yang sangat Alim dan sangat mempercayai bahwa Mut’ah adalah Halal.

Salama bin al-Akwa:

Sahabat yang inipun meyakini bahwa Mut’ah tetap halal sampai Rasulullah saww meninggal.  Sahabat yang inipun hadir di Khaybar dan mengetahui dengan jelas bahwa ada pelarangan memakan daging keledai, tapi tidak mengetahui dengan pasti mengenai pelarangan Mut’ah pada hari yang sama.

Sahih Muslim, Book 021, Number 4775 :

Salama b. Akwa’ reported: We went to Khaibar with Allah’s Messenger (may peace be upon him). Then Allah granted (us) victory over them. On that very evening of the day when they had been granted victory, they lit many fires. Thereupon Allah’s Messenger (may peace be upon him) said: What are those fires and what for those have been lit? They said: (These have been lit) for (cooking) the flesh. Thereupon he said: Of what flesh? They said: For the flesh of the domestic asses. Thereupon Allah’s Messenger (may peace bo upon him) said: Throw that away and break them (the earthen pots in which the fiesa was being cooked).

Abdullah Ibn Abbas:

Abdullah bin Abbas juga hadir ketika Khaybar. Sangat mengetahui bahwa memakan daging keledai dilarang pada saat Khaybar tapi tidak mengathui apapun tentang pelarangan Mut’ah di Khaybar.

Sahih Muslim, Book 021, Number 4774:

Ibn Abbas reports: I do not know whether the Prophet forbade the eating of donkey-meat (temporarily) because they were the beasts of burden for the people, and he disliked that their means of transportation should be lost, or he forbade it on the day of Khaibar permanently.

Catatan : Semua sahabat sangat mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah saww telah melarang untuk memakan daging keledai pada saat Khaybar, tapi tidak mengetahui apa ALASAN yang jelas mengapa itu dilarang. Beberapa sahabat :

  1. Berpendapat itu dilarang karena tidak dibayarnya uang Khums pada saat mereka memasaknya.
  2. Merupakan pandangan bahwa itu hanya merupakan pelarangan yang bersifat sementara, karena Rasul saww menginginkan keledai-keledai itu dipergunakan sebagai sarana transportasi untuk barang-barang , karena mereka mendapati perang yang sangat berat di Khaybar.
  3. Memakan daging keledai telah dilarang secara tetap karena mereka memakan makanan yang kotor.

Klik untuk melihat fatwa mengenai hal tersebut :  www.darululoom-deoband.com –

Saeed Ibn Jubayr:

Riwayat di bawah di ceritakan oleh Abdullah bin Abu Aufa sangat penting, karena membicarakan tentang

  1. Khums
    2.       Saeed Ibn Jubayr menceritakannya dari Abu Aufa dan ini telah dipertimbangkan daging keledai Haram tapi beliau masih terbukti  merupakan pendukung dari Mut’ah

Sahih Bukhari, Volume 4, Book 53, Number 383:

Saeed Ibn Jubayr narrates from Abdullah Ibn Aufa:
We were afflicted with hunger during the besiege of Khaibar, and when it was the day of (the battle of) Khaibar, we slaughtered the donkeys and when the pots got boiling (with their meat). Allah’s Apostle made an announcement that all the pots should be upset and that nobody should eat anything of the meat of the donkeys. <span>We thought that the Prophet prohibited that because the Khumus had not been taken out of the booty (i.e. donkeys) </span>; other people said, “He prohibited eating them for ever.” <span>The sub-narrator added, “I asked Said bin Jubair who said, ‘He has made the eating of donkeys’ meat illegal for ever</span>.”

PELARANGAN MUT’AH PADA PERANG KHAYBAR DENGAN WANITA AHLUL KITAB

Ibn Qayyim berkata dalam Zaad al Maad, Volume 3 page 183:

وأيضا : فإن خيبر لم يكن فيها مسلمات وإنما كن يهوديات وإباحة نساء أهل الكتاب لم تكن ثبتت بعد إنما أبحن بعد ذلك في سورة المائدةبقوله ۔۔۔

“Di Khaybar tidak ada wanita Muslim tapi yang ada hanya wanita Yahudi dan menikah dengan wanita ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak diperbolehkan pada saat itu. Ijin mengenai hal tersebut datang kemudian di surat Al-Maidah. Para muslim pun tidak berminat menikahi mereka sebelum mendapatkan kemenangan. Dan setelah kemenangan, mereka (para wanita tersebut) menjadi tawanan-tawanan dan budak wanita bagi para pejuang Muslim.”

DAN DICABUT OLEH…..

Ijin untuk melakukan Nikah/Mut’ah dengan Ahlu Kitab dikeluarkan dalam Surah Al Ma’idah

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَمِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَالْخَاسِرِينَ

[Al Ma’idah : 5] This day (all) the good things are allowed to you; and the food of those who have been given the Book is lawful for you and your food is lawful for them; <span>and the chaste from among the believing women and the chaste from among those who have been given the Book before you (are lawful for you) </span>; when you have given them their dowries, taking (them) in marriage, not fornicating nor taking them for paramours in secret; and whoever denies faith, his work indeed is of no account, and in the hereafter he shall be one of the losers.

Ibn Kathir al-Damishqi mencatat mengenai turunnya Surah Al Ma’idah :

At-Tirmidhi mencatat bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata, “ surah-surah terakhir yang diturunkan adalah Surat Al Ma’idah dan Surat Al Fath. “ Al hakim megumpulkan periwayatan yang serupa dari At Tirmidhi dalam Mustadaraknya, dan berkata, “Ini Sahih berdasarkan kriteria dari dua Syaikh dan mereka tidak mencatatnya. “Al Hakim berkata bahwa Jubayr bin Nufayr berkata, “ saya melaksanakan ibadah haji sekali dan mendatangi Aisyah dan berkata kepadaku, “ Jubayr, apakah anda membaca (menghafal) Al Ma’idah ?” saya menjawab “Ya”. Aisyah berkata,’itu adalah surah terakhir yang diturunkan. Karenanya, segala hal yang diijinkan didalamnya, maka perlakukan hal tersebut sebagai  kehalalan. Dan segala hal yang tidak diijinkan didalamnya, maka perlakukan hal tersebut sebagai pelarangan.’ “Al Hakim berkata, “Itu adalah benar/Sahih berdasarkan pada kriteria dari 2 Syaikh dan mereka tidak mencatatnya.”
Jadi, kata siapa Mut’ah diharamkan ketika Khaybar ?? Kata yang ngeyel klo Mut’ah itu haram :p

Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ‘ajjil faraja Aali Muhammad

Beberapa tokoh Sunni menilai, berdasarkan firman Allah:

“Allah telah menjadikan untukmu istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri,  dan menjadikan dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu kamu…..” (16:72)

maka tujuan pernikahan adalah untuk tujuan melanjutkan keturunan. Akan tetapi, tujuan pernikahan (dalam ayat ini) tidak didapatkan dalam nikah mut’ah. Oleh karena itu, dalam pernikahan mut’ah ini, hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa disebut sebagai hubungan suami istri. Jadi menurut mereka Nikah Mut’ah bukan suatu perkawinan,

Menjawab pernyataan ini, Memang nikah mut’ah secara umum tidak dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan (meskipun pasangan suami istri dapat melakukannya jika mereka menginginkan)

Tetapi kenyataan membuktikan, banyak nikah mut’ah dilakukan sebagai awal dari pernikahan da’im untuk menghasilkan keluarga yang sakinah. Dalam banyak kasus,suami istri akhirnya akan melanjutkan hubungan mereka ke pernikahan da’im, setelah mereka merasakan  hubungan yang baik di dalam masa pernikahan mu’tah sebelumnya

Meskipun kelanjutan kehidupan manusia hanya dapat dipertahankan lewat pernikahan, tetapiAlqur’an tidak menyatakan bahwa tujuan itu adalah satu-satunya yang diharapkan dari sebuah pernikahan. Bahkan, Alqur’an juga tetap melegalkan pernikahan yang tidak memungkinkan adanya kelahiran. Jika tujuan pernikahan satu-satunya hanyalah untuk menghasilkan keturunan, maka pernikahan dengan perempuan yang mandul atau yang tidak dapat melahirkan, serta perempuan yang sudah tua (menopause, pent.) pasti akan dilarang

.

Dengan alasan yang sama, maka alat-alat dan metode kontrasepsi tidak akan diperbolehkan. Tetapi seperti yang kita ketahui, pernikahan dengan kondisi-kondisi yang telah disebutkan di atas tetap diperbolehkan di dalam Islam. Kenyataan ini menjelaskan bahwa fungsi reproduksi bukanlah satu-satunya tujuan sebuah pernikahan

Di samping itu, ketika mendiskusikan tujuan pernikahan, kita harus terbuka untuk melihattujuan-tujuan pernikahan yang lain yang juga disebutkan di dalam Alqur’an.  Jadi tujuan reproduksi yang disebutkan di atas hanyalah salah satu tujuan pernikahan yang permanen. Ayat  di atas tidak menyebutkan sama sekali bahwa tujuan reproduksi adalah satu-satunya alasan untuk menikah

Berikut ini adalah tujuan pernikahan yang lain yang disebutkan di dalam Alqur’an :

  1. Untuk kesenangan dan kenikmatan pasangan suami istri.

Allah Swt berfirman:

“….Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya setelah perjanjian itu….” (4:24)

Kesenangan dan kenikmatan yang disebutkan dalam ayat ini bukan hanya kenikmatan pisik saja, tetapi juga mencakup kesenangan dan kenikmatan spiritual

  1. Ketenangan.

Di dalam Alqur’an Allah Ta’ala  berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakannya istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri sehingga kamu dapat merasakan ketenangan bersamanya, dan kemudian Allah menciptakan rasa cinta dan kasih sayang di antara kalian. Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  terletak  tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (30:21)

Tujuan pernikahan yang disebutkan pada ayat di atas adalah pencapaian kestabilan  spiritual, ketenangan sosial, ketenangan psikologis, dan untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Tujuan ini tentu saja dapat diperoleh baik melalui nikah da’im maupun dengan nikah mut’ah

  1. Untuk menghindarkan manusia dari perzinahan.

Allah  Swt berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’  dalam shalatnya………dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka jauh dari sifat tercela. Tetapi barangsiapa yang berbuat lebih dari itu, maka dia termasuk orang-orang yang melewati batas.” (23:1-7)

Demikianlah beberapa tujuan pernikahan yang disebutkan di dalam Alqur’an. Di samping itu, hadits-hadits Rasulullah juga menyebutkan tujuan yang lain yaitu:

  1. Melindungi Agama dan Keyakinan

Rasulullah Saww bersabda:

“Seseorang yang telah menikah berati telah  menyempurnakan setengah (diriwayat lain sepertiga) agamanya, maka hendaklah dia takut kepada Allah untuk setengah (duapertiga) yang lain”

Nikah mut’ah telah menyelamatkan orang-orang beriman baik  laki-laki dan perempuan, melindungi mereka dari perbuatan dosa, dan tetap mempertahankan mereka dalam keyakinan dan agama Islam.

Di samping itu, pernikahan juga bertujuan untuk pengembangan dakwah. Dalam kasus ini, nikah mut’ah lebih ringan resikonya dibandingkan dengan nikah da’im.

Sumber