Mut’ah Konsep Islam

Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?

Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah dihalalkan dan terdapat ayat Al Qur’an yang menyebutkannya yaitu An Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan tentang nikah mut’ah.

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan [diharamkan juga kamu mengawini] wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24]

Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa “penggalan” An Nisaa’ ayat 24 ini berbicara tentang nikah mut’ah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin yang dikenal sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena bertentangan dengan keyakinan mereka [kalau nikah mut’ah adalah zina].

Riwayat Para Shahabat Nabi

حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu Abbas “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]

Riwayat ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud dalam Al Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.

Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata “hujjah”. Abu Hatim berkata shalih al hadits shaduq”. Abu Arubah berkata “aku belum pernah melihat di Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin Hakim”. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Khirasy berkata “Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit”. Daruquthni berkata “termasuk orang yang tsiqat”. Amru bin ‘Ali menyatakan tsiqat. Maslamah berkata “tsiqat masyhur termasuk hafizh” [At Tahdzib juz 9 no 698]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi berkata tsiqat wara’ [Al Kasyf no 5134]

Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]

Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]

Abu Maslamah adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367]

Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/213]

حدثنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر بن المفضل قال حدثنا داود عن أبي نضرة قال سألت ابن عباس عن متعة النساء قال أما تقرأ ” سورة النساء ” ؟ قال قلت بلى! قال فما تقرأ فيها ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ؟ قلت لا! لو قرأتُها هكذا ما سألتك! قال : فإنها كذا

Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang nikah mut’ah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah An Nisaa’?.  Aku berkata “tentu”. Tidakkah kamu membaca “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu”?. Aku berkata “tidak, kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu Abbas berkata “sesungguhnya seperti itulah” [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Mas’adah termasuk perawi Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 83]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/246]. Adz Dzahabi berkata “shaduq” [Al Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Sa’ad dan Al Bazzar menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli ibadah” [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].

حدثنا عبد الله حدثنا نصر بن علي قال أخبرني أبو أحمد عن عيسى بن عمر عن عمرو بن مرة  عن سعيد بن جبير ” فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ” وقال هذه قراءة أبي بن كعب

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Ali yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa bin ‘Umar dari ‘Amru bin Murrah dari Sa’id bin Jubair “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu” ia berkata “ini adalah bacaan Ubay bin Ka’ab” [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130]

Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576]. Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy [At Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i yang tsiqat [At Taqrib 1/773]. ‘Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Sa’id bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349]

Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Abu Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asy’at dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy

Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak salah sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak berhujjah dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah.

Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Ibnu Basyaar dari Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul A’la bin Abdul A’la adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Sa’id bin Abi Arubah adalah perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].

Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini saling menguatkan dan menunjukkan kalau bacaan tersebut shahih dari Ubay bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas membaca bacaan tersebut dengan “Famastamta’tum bihi minhunna ila ajali musamma”. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini merupakan kecerobohan yang nyata

وأما ما روي عن أبيّ بن كعب وابن عباس من قراءتهما ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ، فقراءة بخلاف ما جاءت به مصاحف المسلمين وغير جائز لأحد أن يلحق في كتاب الله تعالى شيئًا لم يأت به الخبرُ القاطعُ العذرَ عمن لا يجوز خلافه

Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas dari bacaan mereka berdua [Famastamta’ tum bihi min hunna ila ajalin musamma], bacaan ini menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari khabar yang qath’i dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]

Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan. Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab memiliki bacaan Al Qur’an yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah. Jika telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab soal bacaan itu maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil. Yang harus dilakukan bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana menafsirkannya agar tidak berkesan “menambahkan sesuatu dalam kitab Allah” atau mengesankan “terjadinya tahrif Al Qur’an” versi Ibnu Abbas dan Ubay.

Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah mut’ah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling populer adalah ayat rajam. Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam atau bacaan yang mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi mushaf kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.

Lantas apa susahnya mengatakan hal yang sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab di atas. Kita dapat mengatakan kalau bacaan “ila ajalin musamma” telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia berdalil dengannya ketika ada yang bertanya tentang “nikah mut’ah”.

Syubhat Para Pengingkar

Kemudian ada yang berusaha mementahkan ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir” tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh. Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan” akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.

Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa’ ayat 24 di atas menggunakan kata istimtaa’ bukannya kata mut’ah dan istimtaa’ menurutnya bukan diartikan mut’ah. Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia membuka dulu berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata istimtaa’ untuk menyebutkan nikah mut’ah. Berikut diantaranya

حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ismail dari Qais dari ‘Abdullah yang berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan kami untuk Istimtaa’ dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih]

Apakah maksud dari kata Istimtaa’ dengan pakaian di atas. Apakah maksudnya menikahi wanita secara permanen? Atau maksudnya menikahi wanita secara mut’ah?. Penjelasannya ada dalam hadis berikut.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]

Maka arti kata Istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah “menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan”. Tidak hanya di hadis ini, bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan “nikah mut’ah” juga dengan lafal istimtaa’.

Riwayat Para Tabi’in

Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid [seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.

حدثني محمد بن عمرو قال حدثنا أبو عاصم عن عيسى عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فما استمتعتم به منهن قال : يعني نكاح المتعة

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari ‘Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid “maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”, ia berkata yaitu Nikah Mut’ah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbas Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu ‘Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan dikakatan melakukan tadlis [At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid juga diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]

حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam [Syu’bah] berkata aku bertanya kepadanya tentang ayat “dan [diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki” sampai pada ayat “maka wanita [sitri] yang telah kamu nikmati [istimta’] diantara mereka” apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al Hakam] berkata “tidak” kemudian Al Hakam berkata dan Ali radiallahu ‘anhu telah berkata seandainya Umar radiallahu ‘anhu tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin Ja’far Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin Utaibah seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan melakukan tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau ia sendiri menafsirkan bahwa An Nisaa’ ayat 24 itu berkaitan dengan nikah mut’ah sehingga ketika ditanya apakah ayat tersebut telah dihapus ia menjawab “tidak” dan mengutip perkataan Imam Ali tentang mut’ah.

Ibnu Abbas dan Pengharaman Nikah Mut’ah?

Diriwayatkan kalau Ibnu Abbas telah menghalalkan mut’ah dan mengizinkan orang lain untuk melakukan mut’ah. Dan diriwayatkan pula kalau Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar.

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ

Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115]

Atsar ini menunjukkan kalau Imam Ali telah mengingatkan Ibnu Abbas bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar. Peristiwa ini [jika benar] terjadi di masa Imam Ali masih hidup, anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah.

وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa yang berdebat dengan Ibnu Zubair di atas adalah Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu [Syarh Shahih Muslim 5/88]. Hadis Shahih Muslim di atas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas setelah diberitahu Imam Ali bahwa nikah mut’ah diharamkan di Khaibar, ia tetap saja menghalalkan mut’ah. Perhatikan kembali hadis di atas, Ibnu Zubair menyindir Ibnu Abbas bahwa ia seorang yang buta mata hatinya sebagaimana Allah SWT telah membutakan matanya. Ibnu Abbas memang menjadi buta matanya ketika usianya telah lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa jauh setelah Imam Ali mengabarkan kepadanya kalau mut’ah itu diharamkan di Khaibar, Ibnu Abbas tetap menghalalkan mut’ah.

Bukankah ini sesuatu yang aneh. Sahabat sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali. Ada tiga kemungkinan yang terjadi jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan hadis tentang Ibnu Abbas di atas.

Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.

Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya. Na’udzubillah

Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah

Ketiga kemungkinan ini benar-benar membuat bingung atau silakan ditampilkan jika ada yang punya kemungkinan lain. Soal atsar Imam Ali itu, memang secara zahir sanadnya shahih tetapi matannya diperselisihkan oleh sebagian ulama [idhthirab]. Ada yang mengatakan kalau mut’ah tidak diharamkan di Khaibar karena pada saat itu di Khaibar hanya terdapat wanita yahudi [ahlul kitab] dimana hukum bolehnya menikahi wanita ahlul kitab ditetapkan setelah peristiwa Khaibar.  Seandainya atsar Imam Ali itu shahih dan benar maknanya Nikah Mut’ah haram secara mutlak maka Ibnu Abbas itu memang sudah keterlaluan. Telah sampai larangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadanya tetapi ia tetap saja menghalalkan nikah mut’ah. Ini namanya menghalalkan sesuatu yang ia sudah tahu kalau itu haram, na’udzubillah. Silakan kepada para pembaca sekalian untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.

Nikah Mut’ah Bukanlah Zina? Menggugat Salafy

Tulisan ini bukan mempermasalahkan hukum nikah mut’ah. Baik yang mengharamkan dan yang menghalalkan nikah mut’ah sama-sama memiliki hujjah. Masalah yang kami bahas pada tulisan kali ini adalah ulah mulut gatal sebagian pengikut salafy yang berkata “nikah mut’ah adalah zina”. Tidak diragukan kalau Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menghalalkan nikah mut’ah dan para sahabatpun pernah melakukan nikah mut’ah. Berdasarkan fakta ini maka perkataan “nikah mut’ah adalah zina” memiliki konsekuensi kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menghalalkan zina dan para sahabat pernah melakukan zina. Na’udzubillah, bukankah ini adalah tuduhan yang keji.

Terdapat dalil yang menyebutkan kalau Nikah mut’ah bukanlah sesuatu yang keji melainkan sesuatu yang “baik”. Hal ini pernah disebutkan dalam hadis Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْنَا  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Isma’il dari Qais yang berkata Abdullah berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita [istri], kami berkata “apakah sebaiknya kita mengebiri” maka Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] membacakan kepada kami “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas [Al Maidah ayat 87]“ [Shahih Bukhari 7/4 no 5075]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan mahar berupa pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]

Perhatikan baik-baik, Ibnu Mas’ud ketika menyebutkan nikah mut’ah ia membaca ayat sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membacakan ayat “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian”. Ini berarti nikah mut’ah itu termasuk dalam “thayyibaat” [hal yang baik]. Jadi keliru sekali kalau mengatakan Nikah mut’ah adalah zina. Bagaimana mungkin zina disebut sesuatu yang baik?. Perkara pada akhirnya nikah mut’ah diharamkan [menurut sebagian orang] tetap saja tidak mengubah kalau nikah mut’ah itu sesuatu yang baik.

Seandainya nikah mut’ah itu hukumnya haram tetap saja sangat tidak benar menyatakan nikah mut’ah adalah zina. Apa yang akan mereka katakan terhadap para sahabat yang melakukan nikah mut’ah. Apakah mereka akan menuduh para sahabat telah berzina?.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah  yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW hidup, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’ [Musnad Ahmad 1/52 no 369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim]

Hadis di atas menyebutkan kalau para sahabat [termasuk Jabir] pernah bermut’ah bersama Abu Bakar. Apakah Jabir, Abu Bakar dan sahabat lainnya akan dikatakan telah melakukan zina?. Na’udzubillah, tetapi itulah konsekuensi dari perkataan “Nikah mut’ah adalah zina”. Sangat jelas bahwa sebagian sahabat tetap menghalalkan nikah mut’ah selepas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Hadis di atas menjadi bukti dimana Jabir mengatakan kalau para sahabat [termasuk dirinya] tetap melaksanakan mut’ah dimasa Abu Bakar.

قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر

Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, kami melakukan mut’ah pada masa hidup Rasulullah SAW, masa hidup Abu Bakar dan masa hidup Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]

Sekali lagi jika nikah mut’ah adalah zina, maka konsekuensinya adalah Jabir dan para sahabat lainnya bersepakat melakukan zina dan menghalalkan zina. Kami yakin hal ini tidak akan diterima oleh siapapun yang mengaku muslim. Semoga pengikut salafy yang bermulut usil itu dapat menahan diri untuk tidak mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina. Karena perkataan itu sama saja telah mencaci para sahabat Nabi? Dan bukankah menurut mereka pengikut salafy, mencaci sahabat Nabi adalah kafir. Memang barang siapa yang mulutnya terlalu mudah mengumbar kata kafir maka kata kafir itu akan berbalik pada dirinya sendiri. Salam Damai

Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah

Tulisan ini dibuat dengan tujuan memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka mereka akan menjawab ayat berikut

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan [diharamkan juga bagi kamu menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS An Nisaa’ : 24]

Sebelumnya dalam salah satu tulisan disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini.

Menurut kami, agak rancu jika pengikut Syi’ah ketika berdalil dengan ayat Nikah mut’ah di atas mengambil hujjah dengan riwayat shahih Ibnu ‘Abbaas yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Mengapa kami katakan rancu karena hadis ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan bagi kaum Syi’ah begitupun sebaliknya. Untuk perkara diskusi dengan pengikut Ahlus Sunnah memang sangat baik jika Syi’ah berhujjah dengan hadis Ahlus Sunnah tetapi ketika diminta dalil di sisi mereka soal Ayat Nikah Mut’ah maka hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidak bisa dijadikan hujjah

Seharusnya yang mereka lakukan adalah membawakan riwayat ahlul bait dalam mazhab Syi’ah sendiri yang menjelaskan kalau ayat tersebut memang tentang Nikah Mut’ah. Begitu banyaknya dari pengikut Syi’ah yang menukil riwayat Ibnu ‘Abbas sehingga berkesan seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada keterangan tentang itu. Oleh karena itu kami berusaha meneliti secara objektif adakah dalil tentang ayat nikah mut’ah di atas dalam kitab hadis Syi’ah.

عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير قال سألت أبا جعفر (عليه السلام) عن المتعة، فقال نزلت في القرآن فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فلا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة

Dari sekelompok sahabat kami dari Sahl bin Ziyaad. Dan dari ‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya, keduanya [Sahl bin Ziyaad dan Ayahnya Aliy bin Ibrahim] dari ‘Ibnu Abi Najraan dari ‘Aashim bin Humaid dari Abi Bashiir yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah?. Beliau berkata telah turun dalam Al Qur’an “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/448]

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]

Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]

‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622]

‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821]

Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476]

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن الحسن بن رباط، عن حريز، عن عبد الرحمن بن أبي عبد الله قال سمعت أبا حنيفة يسأل أبا عبد الله (عليه السلام) عن المتعة فقال أي المتعتين تسأل قال سألتك عن متعة الحج فأنبئني عن متعة النساء أحق هي فقال سبحان الله أما قرأت كتاب الله عز وجل؟ فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فقال أبو حنيفة والله فكأنها آية لم أقرأها قط

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abi Umair dari Aliy bin Hasan bin Rabaath dari Hariiz dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah yang berkata aku mendengar Abu Hanifah bertanya kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah. Maka Beliau berkata “apakah engkau bertanya tentang dua Mut’ah?”. [Abu Haniifah] berkata “aku telah bertanya kepadamu tentang Mut’ah haji maka kabarkanlah kepadaku tentang Nikah Mut’ah apakah itu benar?. Beliau berkata “Maha suci Allah, tidakkah engkau membaca Kitab Allah ‘azza wajalla “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Abu Haniifah berkata “demi Allah seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/449-450]

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]

Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]

Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]

Aliy bin Hasan bin Rabaath Abu Hasan Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 251 no 659]

Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]

‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah adalah seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 30 no 62 biografi Ismail bin Hamaam cucu ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah]

Kedua riwayat shahih dalam kitab Syi’ah di atas membuktikan bahwa dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalil kalau ayat An Nisa 24 tersebut adalah berkenaan dengan Nikah Mut’ah.

Syubhat Atas Dalil

Ada syubhat yang disebarkan oleh para pembenci Syi’ah dimana mereka mengatakan bahwa dalam mazhab Syi’ah orang yang menikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan atau ia bukan termasuk muhshan padahal ayat di atas jelas menggunakan lafal muhshiniin. Berikut dalil dalam kitab Syi’ah yang dimaksud

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام، وحفص بن البختري عمن ذكره، عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يتزوج المتعة أتحصنه؟ قال: لا إنما ذاك على الشئ الدائم عنده

‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam dan Hafsh bin Bakhtariy dari orang yang menyebutkannya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang nikah mut’ah apakah itu membuatnya ihshan?. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya hal itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]

Riwayat di atas dhaif sesuai standar Ilmu Rijal Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat perawi majhul yang tidak disebutkan siapa dia.

أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن إسحاق بن عمار قال: سألت أبا إبراهيم عليه السلام عن رجل إذا هو زنى وعنده السرية والأمة يطأها تحصنها الأمة وتكون عنده؟ فقال: نعم إنما ذلك لان عنده ما يغنيه عن الزنى، قلت: فان كانت عنده أمة زعم أنه لا يطأها فقال: لا يصدق، قلت: فإن كانت عنده امرأة متعة أتحصنه؟ قال لا إنما هو على الشئ الدائم عنده

Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Ishaaq bin ‘Ammaar yang berkata aku bertanya kepada Abu Ibrahim [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang berzina sedangkan di sisinya terdapat budak wanita yang sudah digaulinya, apakah membuat ihshan, budak wanita yang ada di sisinya?. Beliau berkata “benar, sesungguhnya hal itu karena di sisinya terdapat hal yang mencukupkannya dari zina”. Aku berkata “maka jika di sisinya terdapat budak yang ia mengaku bahwa ia tidak menggaulinya”. Beliau berkata “itu tidak dibenarkan”. Aku berkata “maka jika di sisinya ada istri mut’ah apakah itu membuatnya ihshan”. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178]

Riwayat ini sanadny muwatstsaq berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Para perawinya tsiqat termasuk Ishaq bin ‘Ammaar hanya saja ia bermazhab menyimpang Fathahiy. Berikut keterangan mengenai para perawinya

Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228

Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391

Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]

Ishaaq bin ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqat tetapi bermazhab Fathahiy [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 54]

Ihshan yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah sesuatu yang disifatkan pada seseorang untuk menentukan hukuman yang akan ia peroleh jika ia berzina, kalau disifatkan dengan ihshan maka hukumannya rajam kalau tidak disifatkan dengan ihshan maka hukumannya cambuk. Maka ihshan disini adalah istilah khusus yang memiliki kategori-kategori tertentu yang bisa dilihat dalam berbagai riwayat shahih mazhab Syi’ah.

Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syi’ah mengenai apakah status nikah mut’ah itu membuat seseorang disifatkan ihshan atau tidak.

Pertama dan ini yang masyhur dari para ulama Syi’ah adalah menyatakan secara mutlak bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan ihshan. Dalilnya berdasarkan riwayat di atas dimana mereka memahami lafaz “da’im di sisinya” dengan makna nikah da’im.

Kedua yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah juga disifatkan dengan ihshan jika istrinya tersebut menetap bersamanya masih bersamanya sebagai istri dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Dalilnya adalah hadis yang menetapkan kriteria muhshan sebagai orang yang di sisinya terdapat wanita yang mencukupkannya dari zina dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Termasuk hadis di atas menjadi dalil, dimana lafaz “da’im di sisinya” ditafsirkan dengan makna menetap bersamanya.

Dalam tulisan ini kami tidak akan membahas secara lebih rinci pendapat mana yang lebih rajih berdasarkan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Kami akan kembali memfokuskan pada syubhat yang dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah.

Syubhat mereka adalah dengan adanya riwayat di atas bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan maka hal ini bertentangan dengan An Nisaa’ ayat 24 yang menyebutkan pernikahan tersebut dengan lafaz muhshiniin. Oleh karena itu An Nisaa’ ayat 24 bukan berbicara tentang Nikah Mut’ah.

Syubhat ini jika dianalisis dengan objektif akan tampak tidak nyambung. Sebenarnya mereka mempertentangkan pikiran mereka sendiri. Mereka hanya melihat kesamaan lafaz tanpa memahami bahwa maksud sebenarnya yang diinginkan oleh setiap lafaz itu berbeda. Lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 itu bermakna orang yang menjaga diri dengan pernikahan. Artinya setiap muslim yang menikah baik itu dengan nikah da’im atau nikah mut’ah maka ia masuk dalam kategori muhshiniin. Apalagi dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalilnya bahwa nikah mut’ah masuk kedalam kategori muhshiniin An Nisaa’ ayat 24 sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya.

Adapun lafaz ihshan dalam riwayat di atas terkait istilah yang berkaitan dengan hukum rajam. Lafaz ini memiliki kriteria atau persyaratan sendiri. Dalam mazhab Syi’ah berdasarkan riwayat-riwayat  shahih maka tidak semua yang masuk kategori muhshiniin jika berzina disebut ihshan

Bahkan orang yang tidak menikah tetapi memiliki budak wanita yang bisa digaulinya maka ia masuk dalam kategori ihshan berdasarkan riwayat shahih mazhab Syi’ah di atas, walaupun berdasarkan An Nisaa’ ayat 24 dia belum masuk kategori muhshiniin karena belum menikah. Dan orang yang menikah walaupun dengan nikah da’im [masuk dalam kategori muhshiniin] bisa saja dikatakan bukan ihshan berdasarkan riwayat berikut

عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن فضالة بن أيوب، عن رفاعة، قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن رجل يزني قبل أن يدخل بأهله أيرجم؟ قال: لا

Dari sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Fadhalah bin Ayuub dari Rifa’ah yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seseorang yang berzina sebelum ia menyetubuhi istrinya, apakah dirajam?. Beliau berkata “tidak” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/179]

Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul sebagaimana yang dinukil An Najasyiy

وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم

Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]

Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]

Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]

Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]

Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]

Rifa’ah bin Muusa Al Asdiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah, seorang yang tsiqat dalam hadisnya [Rijal An Najasyiy hal 166 no 438]

Kesimpulannya adalah lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut bukan berarti bermakna ihshaan yang mengharuskan hukuman rajam. Kalau kita melihat ke dalam fiqih ahlus sunnah maka hal serupa ini juga ada yaitu orang yang masuk dalam kategori muhshiniin dengan dasar pernikahan tetapi tidak ditetapkan ihshan. Imam Syafi’i pernah berkata

وإن أصابها في الدبر لم يحصنها

Dan sesungguhnya menggaulinya [istri] di dubur tidak disifatkan ihshan [Al Umm Asy Syafi’i 8/276]

Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i adalah seorang laki-laki yang baru menikah dan menggauli istrinya bukan pada kemaluan tetapi pada duburnya kemudian ia berzina maka laki-laki tersebut tidak disifatkan ihshan. Bukankah kondisi ini serupa dengan Nikah Mut’ah yaitu masuk dalam kategori muhshiniin tetapi tidak disifatkan dengan ihshan [berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syi’ah].

Contoh lain sebenarnya dapat dilihat dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut. Dalam ayat tersebut digunakan lafaz Istimta’ dan lafaz ini dalam banyak hadis shahih bermakna Nikah Mut’ah. Kemudian bagaimana tanggapan dari sebagian ulama ahlus sunnah. Mereka membantah bahwa lafaz istimta’ disana bermakna nikah mut’ah. Menurut mereka lafaz istimta’ bermakna bersenang-senang atau mencari kenikmatan dan ini juga berlaku pada nikah da’im.

Jadi dengan kata lain mereka mengatakan bahwa Istimta’ di ayat tersebut adalah nikah da’im bukan nikah mut’ah dan menurut mereka, hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang menggunakan lafaz istimta’ sebagai nikah mut’ah. Bukankah disini mereka sendiri beranggapan bahwa lafaz yang sama antara Al Qur’an dan Hadis tidak selalu menunjukkan arti yang sama. Jadi sebenarnya para pembenci Syi’ah tersebut ketika menyebarkan syubhat di atas mereka secara tidak sadar malah menentang diri mereka sendiri.

Analisis Pencari kebenaran

Tinggalkan komentar